Sejarah Kampung Adat Hurati di Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua
Sejarah tentang kampung Adat Hurati di Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua
Sejarah tentang kampung Hurati menurut cerita dari pada keturunannya adalah sebagai berikut: kata Hurati artinya disurati Allah lengkapnya adalah:
- Hurati Elo Ali
- Dara Rae Kana Riwu
- Mone Htu Made Miha
Kampung Hurati pada mulanya berada pada hutan belukar dan tidak seperti sekarang yang mempunyai benteng atau tembok keliling. Kampung Hurati pada awalnya di bangun oleh “Me” dari dalam laut atau mahluk dari dalam laut, bukan oleh manusia biasa. Kampung ini rencananya akan dikerjakan 7 (tujuh) lingkaran dan harus diselesaikan dalam jangka waktu 1 (satu) hari sebelum matahari terbit di pagi hari, karena “Me” yang mengerjakan kampung Hurati adalah “Me” dari dalam laut atau mahluk gaib dari dalam laut. Sementara mereka mengerjakan kampung Hurati dan matahari sudah mulai terbit maka “Me” dari dalam laut tersebut akan kembali ke laut dan mereka tidak kembali lagi untuk menyelesaikan pekerjaan , dan yang mereka dapat selesaikana hanya enam lingkaran maka “Dimu”(Thimu) disebut Dimu Asina (Thimu enam).
Setelah pagi hari dan “Me” dari dalam laut sudah kembali ke laut maka orang-orang atau masyarakat heran karena melihat sebuah kampung baru yang disusun oleh batu-batu yang rapid an indah, melihat keanehan dan keajaiban ini maka tersebarlah berita ini keseluruh daratan Sabu Timur, sehingga masyarakat berbondong-bondong ingin menyaksikan keajaiban tersebut. Karena pada saat itu “Ropa Lala” sebagai Ratu Rai (penguasa) maka orang tersebut melaporkan kepada “Ropa Lala” sebagai penguasa. dan kampung Hurati ini dihuni pertama kali oleh “Ratu Rai”(penguasa) yang bernama “Ropa Lala” dan jabatannya sebagai “Puludo Rai” dan Ropa Lala yang mempublikasikan batu-batu tersebut untuk kepentingan ritual di kampong Hurati dan batu-batu tersebut antara lain:
- Wadu Mone Ama (batu duduk Mone Ama)
- Wadu Pulado (batu duduk Pulado)
- Wadu Duae (batu tempat duduk Raja)
- Wadu peheae jara (batu pacuan kuda)
- Wadu pengaha uri (batu istirahat)
- Wadu sumbahyang (batu ritual)
- Wadu pengaha mone ama ( batu duduk mone ama)
- Wadu nga’a (batu tempat makan staf mone ama)
- Wadu kesuburan (batu kesuburan negri / rai)
- Juli (kulit karang) tempat isi air untuk minum
- Meriam kuno
- Tiang Fektor / Raja
Pada masa pemerintahan Ratu Rai yang bernama “ Talo Ruhi” mempunyai dua orang putra yaitu:
- Djaimi Talo (sulung)
- Uly Djami (bungsu)
Pada saat itu pula seluruh daratan Sabu sudah sangat kacau sehingga waktu itu pula orang-orang dari Seba memanfaatkan kesempatan untuk mencuri hewan-hewan orang Sabu Timur, dan orang Sabu Barat yang datang mencuri hewan orang Sabu Timur yang bernama “ Awa Tade Mira Rai” bersama pengikut-pengikutnya. Kemudian datanglah seorang putra Sabu Timur yang bernama “Ama Kale Mira” melaporkan dan menginformasikan yang tidak benar kepada orang Sabu Seba untuk mengadu domba orang Sabu Timur dengan orang Sabu Seba, bahwa orang Sabu Seba telah dicaci oleh orang Sabu Timur.
Ketika itu pula Raja Sabu Barat pada saat itu yaitu “Ama Doko Kaho Rihi” mau merampas secara paksa istri dari pada “Hudji Talo”, maka pada tahun 1873terjadilah perang antara Sabu Timur (Hurati) dengan Sabu Barat (Bodo) dan “Hudji Talo” alias Ama Tanya Hudji melarikan diri bersama istrinya yaitu “Jna Dimus Hudji” dari Hurati ke kampung Raemalode guna mempertahankan istrinya.
Melihat cara-cara orang suku Seba yang mau mencuri hewan orang Sabu Timur, dan Raja Sabu Timur “Djami Talo” sudah tau yang di utus dari Seba sebagai jago untuk mencuri hewan orang Sabu Timur adalah “ Ama Tade Mira Rae” dengan para pengikutnya.
Maka oleh Djami Talo sebagai Raja di Sabu Timur memerintahkan kepada “ Hama Kanani Hoba dan Ama Honi Baugugu sebagai jago dari Sabu Timur untuk mengejar “Ama Tade Mira Rai” yang sementara mencuri (membawa) hewan orang Sabu Timur dan di dapatlah “AMa Tade Mira Rai” dinamakan sekarang “Jangana” dan dibunuh “Ama Tade MiraRai” oleh “Ama Kammihalo” dan dipotong kepalanya dan dikubur di bakul yang bernama sekarang “Hade Guri Ama Tade di Sabu Timur.
Selanjutnya Redja Djawi Talo tetap mempertahankan kampong Hurati dari serangan orang-orang Sabu Seba, dan orang Sabu Seba tetap tidak bias masuk ke kampong Hurati karena begitu kuat pertahanan dari pada Radja “Djaimi Talo”, maka orang Seba memohon bantuan orang Sabu Timur “Danni Doka” yaitu Keturunan “Ly” untuk menghancurkan kampong Hurati dengan cara mencungkil dengan menggunakan linggis. Setelah pagar Kampung Hurati dapat dihancurkan oleh orang Danni Doka, maka maka orang Sabu Seba dan Bodo dengan kekuasaannya membunuh orang – orang Hurati termasuk Djaimmi Talo, namun Djaimmi Talo tidak bias mati oleh orang Sabu Seba sekalipun tangan dan kakinya sudah dipotong dan isi perutnya sudah dikeluarkan, dan pada akhirnya orang Sabu Seba kembali ke Seba yang mana mereka anggap “ Djaimmi Talo” sudah meninggal. Pada saat itu orang yang selamat di Hurati selain “Djaimmi Talo” ada juga yang bernama “Keiu Talo”.
Karena “Djaimmi Talo” sudah hidup sengsara karena sudah tanpa kaki dan tangan maka ia memerintahkan orang – orang dari Sabu Timur dengan perahu kayu guna menjemput hulu balang dari Raijua yang bernama “Djawe Hawu” alias “Hema Djawe” untuk membunuh “Djaimi Talo” setelah Djaimmi Hawu “ tiba di Sabu Timur (Hurati) dari Raijua maka Djaimmi Talo menyuruh Djaimmi Hawu alias Hama Hema Djammi untuk mempersiapkan alat – alat untuk menghabiskan nyawa dari pada “Djaimmi Talo” alat yang dipersiapkan dirahasiakan dan dilakukan exsekusi hingga Djaimmi Talo menghabiskan nafas terakhirnya di kampong Hurati pada tahun 1873 dan beliau di kuburkan di kampung Hurati.
Sebelum Radja Djaimmi Talo meninggal, pada masa kejayaannya memimpin Sabu Timur ia masih sempat mendirikan rumah batu berkepala kuda yang dikenal oleh orang Sabu Timur ialah “Amme Kattu Djara”. Untuk kepentingan ritual dan menyimpan harta benda yang berharga dari dua marga yang ada di Sabu Timur yaitu: Udu (marga) Do Kolo Rae Dau Udu (marga) Dona Tudu Udu Ale Dai Hurati.
Bila mana dibangun rumah kepala kuda maka perlu Kurban seorang perempuan hamil yang dating dari satu kampung yaitu dari Seba, Kecamatan Sabu Barat kira – kira jumlahnya dua belas malam tepat dan dipotong bagi tiga.
Berikut ini adalah silsilah dari “Ropa Lalo” sampai kepada keturunannya “Uly Djammi” di Sabu Timur sampai keturunan Djammi Talo dari Kampung Hurati sebagai berikut:
– Ropa Hala – Talo Heo
– Lay Ropa – Hudji Talo
– Bawa Hay – Hela Hudji
– Rwu Nawa – Dumin Heba
– Kana Riwu – Ruhi Dumi
– Heo Kana
Talo Rihi:
1. Djaimi Talo.
2. Hudji Talo
Djaimmi Talo
1.Gadjn Djaimi
2. Uly Djaimi
Uly Djaimi
Djohe Uly (Yoseph Uly Djaimi) Hector Pertama
Talo Djohe (Micha Uly Djaimi)
Djohe Talo (Yoseph Uly Djaimi) Hector yang Kedua
Talo Djohe (Erwin Uly Djaimi).
Demikian secara singkat dapat di uraikan mengenai sejarah terbentuknya Kampung Hurati, cerita atau sejarah ini diperoleh dari cerita masyarakat setempat ( Juru Pelihara Situs Kampung Hurati) Untuk mendapatkan tinggalan Cagar Budaya pada suatu situs tidaklah mudah, karena memerlukan ketelitian dan kesabaran, tinggalan Cagar Budaya yang ada di situs Rumah Adat dan Benteng Hurati yang masih bisa teridentifikasi antara lain:
- 1 buah rumah adat Hurati
Rumah inimerupakan rumah yang baru di bangun kembali oleh pemiliknya, rumah ini merupakan rumah panggung dengan hanya ada satu bilik didalamnya, rumah ini merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu hutan yang tumbuh disekitar lokasi situs, dindingnya terbuat dari papan kayu dan atapnya terbuat dari anyaman daun lontar.
- 2 buah kuburan leluhur di Hurati
Kuburan ini berada di bekas reruntuhan rumah adat, terbuat dari gundukan batu yang telah di beton, merupakan dua buah kuburan yang dijadikan satu, namun tidak nampak adanya batu nisan.
- 2 buah patung kepala kuda di Hurati
Dua buah patung ini diletakkan pada altar bekas bangunan rumah adat, kondisi dari salah satu patung kepala kuda ini adalah pecah dibagian mulutnya.
- 15 buah meja batu di Hurati
Meja batu ini berada di bawah pohon, berada di depan patung kepala kuda, kondisi dari meja batu ini kebanyakan telah hancur dan aus, ukurannya beraneka ragam dari yang besar sampai yang kecil.
- 1 buah meriam
Meriam ini kondisinya sudah tidak utuh lagi, bagian ujujng sudah rusak/ patah dan keadaannya sudah berkarat.
- Benteng Hurati / tembok keliling kampung Adat Hurati
Benteng atau tembok ini memiliki tinggi ± 3 Meter, mengeliling situs yang luasnya ± 8750 M² benteng rumah adat Hurati, terbuat dari batu kapur dan karang – karang laut yang mengeras. Penentuan batas situs adalah kegiatan utama yang dilakukan untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian cagar budaya dan situs sesuai dengan data yang ada dengan tujuan untuk mengetahui secara pasti letak geografis situs/ cagar budaya terhadap lingkungannya. Sebagai dasar penentuan batas situs dapat dilakukan dengan berpedoman pada:
Batas asli, yaitu batas asli situs yang ditandai dengan persebaran unsur – unsur bangunan terkait dengan kontekstual bila masih ditemukan.
Geotopografi, batas situs yang ditandai dengan keadaan lingkungan alam, seperti lereng, sungai, jalan dan sebagainya.
Kelayakan pandang, yaitu batas situs ditandai dengan kelayakan pandang dalam rangka mengapresiasikan nilai keaslian cagar budaya yang dilakukan melalui pandangan mata secara horizontal atau sesuai dengan pemanfaatanya.
Situs Rumah Adat dan Benteng Hurati Di Sabu, Di Desa Keduru, Kecamatan Sabu Timur
Berdasarkan uraian diatas pemintakatan yang ideal dilaksanakan di situs Rumah Adat dan Benteng Hurati Desa Keduru, Kecamatan Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sistem blok yang terdiri dari:
Sebelah Utara:
– Zona Inti : –
– Zona Penyangga : 70 Meter
– Zona Penyangga : 70 Meter
Sebelah Timur:
– Zona Inti : –
– Zona Penyangga : Batas Jalan Raya
– Zona Pengembangan : –
Sebelah Selatan:
– Zona Inti : –
– Zona Penyangga : 40 Meter
– Zona Pengembangan : 40 Meter
Sebelah Barat:
– Zona Inti :
– Zona Penyangga : 70 Meter
– Zona Pengembangan : Sungai
Mintakat inti (zoning I) merupakan kawasan yang dilindungi dan tidak diperkenankan ada bangunan diatas situs, mintakat inti di situs Rumah Adat dan Benteng Hurati dengan Luas 8750 M²
Mintakat penyangga (zoning II) merupakan kawasan yang diperuntukkan menjaga keharmonisan antara situs dan lingkungannya. Lahan mintakat penyangga di Situs Rumah Adat dan Benteng Hurati sudah tidak bisa lagi , karena sudah di kelilingi oleh rumah penduduk.
Mintakat pengembangan (zoning III), kawasan ini disiapkan untuk penyediaan pasilitas dan kemudahan dalam mengapresiasikan nilai situs dan lingkungannya. Untuk kawasan ini idealnya dikembangkan kearah utara.
Sumber Artikel
___________
Artikel ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan atau merevisinya. Silahkan tinggalkan komentar yang membangun di kolom komentar atau Hubungi kami.
Sumber Artikel
___________
Artikel ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu kami untuk mengembangkan atau merevisinya. Silahkan tinggalkan komentar yang membangun di kolom komentar atau Hubungi kami.