Sejarah Suku Helong: Peradaban Suku Helong Di Kupang
Sejarah Suku Helong: Peradaban Suku Helong Di Kupang: Oleh Sonny Pellokila
Dari beberapa pendapat yang ada dalam beberapa referensi, memprediksikan bahwa disekitar barak atau asrama Yonif 743 TNI AD saat ini atau dulunya dikenal dengan Fort Concordia merupakan lokasi atau tempat awal peradaban suku Helong di Kupang yang dikenal dengan nama “Kaisalun”.
Pada tahun 1463, nama Kaisalun digunakan sebagai nama Bandar alam atau pelabuhan alam di sekitar teluk Kupang (Kupang Bay) dengan nama Kaisalun Bunibaun. Kaisalun dan Bunibaun merupakan tempat peradaban awal suku Helong di Kupang. Kaisalun memiliki arti sebagai Cendana (Kai=Kayu atau Pohon dan Salun=Cendana).
Sebuah batu yang berukuran besar dan letaknya tidak jauh dari Kaisalun oleh suku Helong yang menempati Kaisalun dan Bunibaun menyebutnya dengan nama “Fatufeto Tuan”.
Fatufeto Tuan artinya “Batu Perempuan atau Batu Besar” (Fatu=Batu, Feto=Perempuan dan Tuan=Besar). Kaisalun tidak menjelma menjadi Fatufeto Tuan sebab Kaisalun dan Fatufeto Tuan merupakan dua (2) nama yang berbeda, dua (2) tempat yang berbeda dan masing-masing memiliki arti yang berbeda.
Kaisalun merupakan wilayah sentral dari suku Helong karena ditempat tersebut terletak Sonaf raja Kupang dan ditempati oleh klan raja, sedangkan Fatufeto Tuan merupakan area disekitar pusat sentral yang ditempati oleh salah satu klan dari komunitas suku Helong yang bernama “Bamae”. Kini klan Bamae bertempat tinggal di Uihani, Bolok.
Perjanjian kontrak kerjasama antara Portugis dengan Raja Kupang: Kaisalun Menjelma Menjadi Benteng
Pembangunan rumah sebagai markas operasional Larantuqueiros merupakan realisasi sesuai perjanjian kontrak kerjasama antara Portugis dengan Raja Kupang yang telah dibaptis oleh padre Portugis dengan nama “Dom Duarte”. Dalam isi Kontrak tersebut memuat izin pembangunan gereja dan benteng serta larangan negara lain untuk berlabuh di bandar alam Kaisalun Bunibaun.
Pada tahun 1645 dibangun sebuah rumah sebagai markas operasional Larantuqueiros dalam kawasan sonaf raja Kupang di Kaisalun oleh Padre Antonio de Sao Jacinto. Namun usaha dari Jacinto dikritik oleh para pedagang Portugis di Larantuka. Menurut pedagang Portugis di Larantuka bangunan yang dibangun harus berupa benteng sebagai tempat pertahanan dan bukan sebuah rumah kecil yang dijadikan sebagai markas operasional. Jacinto kemudian dipanggil ke Goa-India pada tahun 1649.
Pembangunan rumah markas operasional menjadi sebuah benteng dilanjutkan oleh Kapten-Mayor Francisco Carneiro de Siqueira. De Siquiera juga bersilang pendapat dengan para pedagang Portugis di Larantuka sehingga pada akhirnya, de Siqueira tidak melanjutkan pembangunan rumah tersebut menjadi sebuah benteng, namun membangun sendiri sebuah kampung disebuah tempat yang kemudian pada abad 17, tempat tersebut dikenal dengan nama Nfan Ten atau Fani Teni dan pada abad 18 dikenal dengan nama Fontein.
Orang-orang Helong menyebut tempat rumah markas operasional Larantuqueiros yang berada dalam kawasan istana raja kupang di Kaisalun dengan nama “Maadulasi”. Maadulasi sebenarnya menggambarkan tentang “perseteruan” atau “perselisihan” di kalangan Larantuqueiros tentang rencana pembangunan rumah yang berada dalam kawasan istana raja kupang menjadi sebuah benteng.
Rumah markas operasional Larantuqueiros akhirnya jatuh ke tangan VOC pada tahun 1653. Sejak saat itu, VOC mulai membangun sebuah benteng pada lokasi yang sama dengan nama “Benteng Concordia”. Batavia memutuskan untuk meninggalkan Fort Henricus di Solor dan menempati Fort Concordia di Kupang pada tahun 1657.
Sumber:
- 1847, G. Heijmering. Bijdragen tot de geschiedenis van Timor, Tijdschrift van Nederlandsch-Indië IX-3:1-62, 121-232.
- 1878, Batavia ter Landsdrukkerij. Staatsblad van Nerderlandsch-Indie over het jaar 1877.
- 1898, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
- 1907, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
- 1912, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
- 1913, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
- 1947, C.R Boxer. The Topasses of Timor. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut
- 1968, P. Middelkoop. Migrations of Timorese groups and the question of the Kase Metan or overseas black foreigners’, Internationales Archiv für Ethnographie.
- 1971, H. G. Schulte Nordholt. The Political system of the Atoni of Timor. The Hague: Nijhoff.
- 1983, Drs. R.Z. Leirissa, Dr. Kuntowidjojo dan Drs. M. Soenjata Kartadarmadja. Sejarah sosial di daerah Nusa Tenggara Timur.
- 2005, I Ketut Ardhana. Penataan Nusa Tenggara pada masa kolonial, 1915-1950.
- 2012, Hans Hagerdal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and Adaption in early colonial Timor, 1600-1800.
- 2012, I.A. Luitnan, Koepang Tempo Doeloe.
- 2018. Workshop on Documenting Minority Languages in Nusa Tenggara Timur Indonesia. Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Nusa Tenggara Timur.
- 2018, Dra. Nurarta Situmorang, M.Si. Citra Kota Kupang dalam Arsip. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.
- 2019, Prilly Esterina D. Saudale, Dr. Wara Indira Rukmi, ST, MT dan Antariksa, M.Eng, Ph.D. The Influence of Power Towards Spatial Change in the History of Kupang Old Town Development.