Perang Kolbano di Timor Tengah (1907): Perang Kolbano bermula dari sebuah ekspedisi militer Belanda


Perang Kolbano di Timor Tengah (1907) 

Oleh : Blasius Mengkaka
Berdasarkan kajian sejarah kolonialisme, Perang Kolbano bermula dari sebuah ekspedisi militer Belanda sebelum saat konsolidasi kekuasaan kolonial di bawah Gubernur Jenderal J.B van Heutsz yang bertujuan mengambil tindakan tegas terhadap Kaiser Sonbait. Latar belakang pemberontakan Kaisar Sonbait tahun 1903, bermula dari kesibukan kolonial Belanda untuk menumpas sebuah gerakan protes di Banten pada tahun 1888. Untuk maksud ini maka pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1888 mengirim serdadu dari Timor, Menado dan Ambon ke Banten untuk memperkuat posisi kolonial Belanda di sana sehingga pengawasan militer di Timor-Belanda melemah. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh Kaiser Sonbait untuk melawan kekuasaan kolonial.

Monumen Perang Kolbano

Pada tahun 1903, Kaiser Sonbait menentang kekuasaan Residen Timor F.A Hecklar (1902-1905) yang menarik pajak di semua pelabuhan Timor-Belanda. Konflik Belanda dengan Sonbait memperburuk keadaan. Belanda melakukan taktik Divide et Impera dengan memperalat Beantanu untuk menaklukan raja Sait Mis Nis Noni. Maka atas permintaan Beantanu, Belanda melancarkan aksi militer pada tahun 1905 atas perintah Gubernur Jenderal J.B van Heutsz dengan tujuan untuk menghukum kaiser Sonbait. 

Pasukan Belanda tiba di Daerah Enam Tiang (Daerah pemerintahan Langsung) di sekitar Kupang yang saat itu sudah menjadi tempat pemukiman orang Rote. Orang Rote diminta oleh Belanda untuk membantu penyerbuan terhadap kaiser Sonbait (KTLIV H.1112, Ceuvreur 1924:108). Pemukiman orang Rote ini kemudian menjadi satelit bagi orang Belanda untuk menaklukan daerah Timor.

Pasukan Belanda menyerang Sonbait di Kauniki sebagai pusat kekuasaan Sonbait. Pada tahun 1905, kaiser Sonbait dan Toto Semaut ditangkap Kompeni pimpinan Leutnan de Vries. Pebruari 1906, raja Sait Mis Nis Noni ditangkap Belanda selanjutnya dibuang ke Waingapu, Sumba sedangkan Toto Semaut dibuang ke Aceh. raja Sait Mis Nis Noni kemudian digantikan oleh raja Bastiaan Mis Nis Noni.

Pada tahun 1907, Belanda mengadakan ekspedisi lebih lanjut ke Mollo dan Belu. Pemerintah Belanda merancang sebuah UU yang mengatur pendaftaran penduduk, penyerahan senjata dan pembangunan jaringan jalan. Penduduk Kolbano tidak menyetujui UU atau aturan Belanda ini. Kemarahan penduduk Kolbano meluap ketika Belanda memaksa untuk membayar pajak dan menuntut penyerahan senjata. Hal ini menjadi dasar pertumpahan darah di Kolbano pada 26 Oktober 1907. Pemberontakan di bawah pimpinan raja Amanatun, Hau Sufa Leu (1883-1910). Setelah perang Kolbano, raja Hau Sufa Leu digantikan oleh raja Noni Nope (1911-1920). Dalam pertempuran itu, pihak Belanda yang tewas ialah:

Monumen Perang Kolbano 

Monumen Perang Kolbano 1908 berisi daftar para serdadu Belanda yang tewas (Foto: P.H. Lakapu)
Daftar serdadu Belanda yang tewas dalam Perang Kolbano sesuai Monumen Kolbano (1908) ialah:
1. M. Schipphorst (Belanda asli)
2. F.M Schwung (Belanda asli)
3. Semeru
4. Marto Sutikno
5. Wardi
6. Pono
7. Samin
8. Amandarun
9. Kromoredjo
10. Wirdjodikromo
11. Wojowijoyo
12. Tijan
13. Partowijoyo
14. Satoe
15. Wakidjan
16. Fuskliers
(Sumber: Prasasti Tugu Kolbano dan Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme Belanda di Nusa Tenggara (1982/1983)

Perang Kolbano di Timor Tengah (1907) : Pemberontakan Kolbano 

Pemberontakan Kolbano mengakibatkan Belanda mengambil kesimpulan bahwa rakyat lokal tidak bisa memerintah daerahnya sendiri. Belanda mendapati kenyataan bahwa pada tahun 1906-1907 terjadi anarki di mana-mana. Belanda kurang yakin akan kemampuan pemimpin pribumi yang tidak mampu melakukan perbaikan politis dan ekonomi masyarakatnya. Hal ini kemudian membuat Belanda menganeksasi daerah Timor-Belanda. Setelah perang Kolbano, Belanda mengangkat raja Noni Nope yang menjadi raja berdasarkan prinsip struktur tradisional pribumi demi menopang kekuasaan Belanda.

Operasi militer demi ketenangan dan ketertibanpun dilaksanakan Belanda di seluruh wilayah Timor Belanda. Perjanjian Plakat Pendekpun dipaksakan untuk wilayah Alas, Weolain, Litamali, Fatuaruin, Manulea, Mandeu, Dirma, Lakekun, Kusa, Waiwiku, Fialaran, Lidak, Jenilu, Naitimu, Lamaknen dan Silawan. Pada tahun 1916 semua daerah disatukan dalam Federasi Malaka dan Federasi Tasifettoh. Pada tahun 1924, kedua Federasi bersatu dalam daerah Belu.

Jadi secara umum dikatakan bahwa perang Kolbano dijadikan Belanda untuk semakin memperkokoh kekuasaannya di Timor-Belanda dengan dalih untuk operasi militer bagi keamanan dan ketertiban. Namun nilai perang ini bagi perjuangan menentang kekuasaan asing bagi orang Timor sungguh tinggi sebab dengan perang Kolbano, para pejuang Kolbano mau menunjukan ekspresinya untuk tidak tunduk begitu saja terhadap politik kekuasaan Belanda untuk menyerahkan pajak, senjata dan tenaga bagi kerja paksa hal mana berhubungan upaya untuk mempertahankan harga diri, harkat dan martabat orang Timor-Kolbano dari tindakan semena-mena penguasa kolonial Belanda.

Oleh : Blasius Mengkaka
Seorang Sarjana Filsafat, berprofesi sebagai guru bahasa Jerman dan penulis di Kompasiana.com, BLASMKM.com,

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel