Rumah Adat Suku Sabu dan Makna Dari Setiap Bagiannya
Bangunan Rumah Adat Komunitas Do Hawu (Ammu Ae Nga Rukoko). Komunitas Do Hawu memelihara keunikan bangunan rumah adat (ammu Rukoko) karena memiliki filosofi dan makna yang mendalam sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Ammu Rukoko telah dipertahankan sebagai bagian dari warisan kebudayaan dalam masyarakat Di Hawu. Bentuk ammu rukoko yang penuh dengan makna dan kekhasan terlahir dari konsep tradisional dengan unsur budaya yang kuat dalam pengerjaannya yang tetap dijaga turun-temurun
Pemahaman Do Hawu tentang konsep Ammu ae nga rukoko. Do Hawu menyebut rumah dengan istilah Ammu Hawu, sedangkan rumah adat disebut dengan sebutan ammu ae nga rukoko.
Ammu Hawu diyakini sebagai tempat tinggal yang dibangun orang pertama yang menetap di pulau Sabu bernama Kika Ga. Pengembaraannya Kika Ga hidup berpindah kemudian menetap di wilayah Hawu Habba (Seba), pada mulanya hanya menggunakan Rau Due (Jenis daun lontar) sebagai media/sarana mendirikan tempat berlindung. Kemudian oleh masyarakat Hawu Habba menganggap bahwa rumah tersebut sebagai rumah induk dari Kika Ga sampai pada keturunan Robo A’bba yang menghasilkan empat suku besar, yaitu suku Nahupu, suku Nataga, suku Nahoro dan suku Namata.
Konsep rumah (ammu) sebagai identitas fisik dan identitas sosial mengandung makna yang berhubungan dengan dimensi ruang dan komunikasi antar orang. Dimensi ruang pada ammu bertitik tolak dari pengertian mengenai ruang alam setiap orang, yaitu: atas-bawah, kiri-kanan, muka-belakang.
Suku Hawu berpandangan bahwa rumah mengandung unsur dinamika eksistensi masyarakat, yakni pergi dan pulang. Pergi artinya, masuk hal yang asing, pulang artinya berada kembali dalam hal yang dimiliki sebagai milik diri sendiri yaitu rumah. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, rumah merupakan dunia pertama
yang didiami (oikos). Rumah mencerminkan dunia dan karena itu ia mempunyai kandungan makna dengan fungsi sakral, supaya rumah tidak menjadi penjara, maka dibuatkan lubang penghubung antara dalam dan luar yang disebut pintu atau jendela. Dengan begitu, maka yang didalam bisa keluar dan yang diluar harus minta ijin supaya dapat masuk.
Dunia semakin transparan tanpa dinding. Rumah adat Hawu (Ammu Hawu) dalam filosofi pendiriannya diibaratkan seperti Rai Hawu yang berasal dari sesosok makhluk hidup yang terlentang dari Barat ke Timur, yaitu kepala berada di Barat (mehara), bagian tengah (haba dan liae) dan yang ekor berada pada posisi Timur (dimu)
Konstruksi ruang fisik arsitektural “modern” yang cenderung terbuka dan meninggi, memang memungkinkan manusia dapat melihat lebih banyak, dan lebih luas. Akan tetapi setiap kali menjadi bingung, karena dimungkinkan untuk melihat banyak hal yang berbeda-beda. Rumah Adat Do Hawu (ammu ae nga rukoko) merupakan pusat konstelasi makna dunia sakral,serta ruang komunikasi dan interaksi.
Rumah adat Hawu (ammu ae nga rukoko do Hawu), dibuat oleh Deo Rai dan mayarakat suku Hawu setempat. Deo Rai dikenal sebagai Tuhan di Bumi, dimana ia mengatur segala
sesuatu yang berbau budaya Hawu dan segala sesuatu yang ada dan menempati pulau Hawu. Dari sisi antropologis dan berdasarkan cerita masyarakat Hawu, bentuk/wujud rumah adat (Ammu Ae Nga Rukoko) mengambil konsep dasar dari bentuk perahu. Bahkan sebagian besar elemen konstruksinya diambil dari nama pada elemen konstruksi sebuah perahu.
Rumah Sabu mempunyai tiga tingkat panggung (kelaga= balai-balai), yaitu: Kelaga Ae (balai-balai besar) yang terletak di balok-balok utama rumah, Kelaga Rai (balai-balai tanah) dan kelaga Damu (balai-balai loteng). Lambang yang diberikan DoHawu pada pulau Hawu serta bagi kampungnya dikenalkan pula dalam pengaturan rumah, walau mereka tidak secara eksplisit menyatakan bahwa wujud rumah adalah sebagai perahu yang ditelungkupkan, baik bentuk maupun nama bagian bagian tertentu dari rumah yang terdapat hubungannya dengan elemen perahu.
Rumah adat (Ammu Hawu) menjadi acuan konstruksi berbagai bangunan yang ada di Rai hawu, di antaranya adalah bangunan rumah adat. Bangunan rumah ibadah di Rai Hawu berbentuk persegi panjang dengan bagian samping melebar yang berbentuk setengah lingkaran yang membentuk elips. Bagian atap rumah juga berbentuk perahu terbalik dan dilapisi dedaunan lebat yang disebut Roukoko (bulu leher).
Ukuran Roukoko disesuaikan panjang balok bubungan yang disebut Bangngu Ammu Hawu memiliki “anjungan” dan "buritan” balok-balok alas, balai-balai dipotong menyerupai anjungan perahu. Istilah gela digunakan baik untuk menyebut tiang dalam loteng ataupun tiang layar perahu, sedangkan Roa yaitu bagian dalam atap rumah yang sama juga dengan bagian dalam badan perahu. Selain itu, masyarakat sebuah kampung dan orangorang satu rumah atau kelompok warga seperti halnya penumpang dalam sebuah perahu.
Makna seperti makhluk hidup juga dinyatakan melalui simbol yang digunakan pada bagian-bagian tertentu rumah Hawu, sehingga rumah terdapat “kepala” dan “ekor” , “daun leher”, “pipi”, “tempat bernapas”, “dada” maupun “rusuk”.Do Hawu berpandangan bahwa sebuah rumah bukan hanya sebatas bangunan fisik yang memiliki fungsi praktis sebagai tempat berlindung dari teriknya matahari, derasnya air hujan, dan dinginnya udara malam semata, namun juga mempunyai fungsi lainnya (fungsi budaya, sosial, masyarakat terkait). Sebab itu, rumah didirikan bukan sebatas kokoh dan kuat, namun juga diselimuti makna simbolik yang mengacu pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang terkandung dalam rumah adat do Hawu antaralain: kebersamaan, kesehatan, keseimbangan, dan kepercayaan bahkan perkawinan. Berdasarkan tradisi Do Hawu, setiap warganya yang baru menikah harus disakralkan melalui ritual penyucian dalam rumah adat.
Selain itu rumah adat Hawu masih di bagi menjadi depan-belakang (hedapa-kejunga), kanan-kiri (kedanga-keriu). Depan atau kanan disebut sebagai kakak (a’a), sebaliknya belakang atau kiri digolongkan sebagai adik (ari). Perbedaan ini juga diungkapkan saat menghubungkan kayu taga batu, yang depan menindih yang belakang. Atas dasar ini pula kayu badu depan lebih sebatang dari yang dibelakang. Depan atau kanan dan ganjil itulah sifat kakak yang superior, sedangkan yang belakang atau kiri dan gelap merupakan sikap adik yang inferior.
Adalagi yang menarik yaitu, bahwa terkait upaya menyatukan kayu usuk (badu) dengan balok bubungan, usuk-usuk depan dimasukan kedalam lubang balok bubungan terlebih dahulu, dari pada usuk yang di belakang. Usuk depan diletakkan ke arah duru, lalu usuk belakang ke arah wui. hal itu karena usuk depan itu lelaki dan usuk belakang itu perempuan.
Akhirnya visi do Hawu tentang rumah dilambangkan sebagai sebuah perahu atau sebagai makhluk hidup.