Asal-Usul Nama Kampung Oepura Di Kupang
ASAL MULA NAMA OEPURA
Oleh Sonny Pellokila
Seorang kaisar bernama Nai Bau (Baob) Sonbai dari Sonbai Besar bersama pengikutnya datang ke Kupang, dan untuk sementara tinggal di Kiu Tuta (Bakunase) bersama saudara-saudaranya dari Sonbai Kecil. Kemudian dia bernegosiasi dengan raja Kupang, dan raja Kupang memberikan sebidang tanah yang terletak dari arah selatan Kupang (sekitar 3 paal dari Kupang atau sekitar 1,5 jam perjalanan dari Kupang) untuk tinggal tetap di tempat tersebut. VOC merasa tersaingi sebab walaupun Nai Bau Sonbai memiliki pengaruh yang sangat luas di pulau Timor bagian barat, namun saat ini dia tinggal menetap dalam wilayah kekuasaan VOC, yaitu Kupang dan sekitarnya. Saat dia tinggal di tempat tersebut, Nai Bau Sonbai bersama istrinya memperanakan tiga orang anak, dua perempuan dan seorang laki-laki bernama Nai Tafin Sonbai; gadis-gadis itu bernama Bi Sul Sonbai dan Bi Au Lais Sonbai.
Pihak VOC meminta dia datang ke Kupang (Benteng Concordia). Kemudian pimpinan VOC mengambil sumpit dan mengarahkan ke arahnya, dan berkata: Jika anda seorang penguasa, maka merangkaklah melalui lubang sumpit ini, dan keluar dari ujung yang lain sebagai Sonbai. Sonbai menjawab: baiklah, saya akan merangkak di lubang sumpit itu terlebih dahulu, dan kemudian anda akan mengikuti saya. Sang kaisar kemudian melakukan triknya dan berubah menjadi ular. Dia merangkak ke dalam lubang sumpit dan keluar dari ujung yang lain. Dia kemudian memberikan sumpit itu kembali ke VOC dan berkata: Merayap masuk, tapi pimpinan VOC itu tidak bisa melakukannya.
Kemudian pihak VOC membuat sepuluh lilin; Mereka menyalakan di salah satu ujung lilin tersebut, dan menyala seperti lampu. Bau Sonbai diberitahu oleh kompeni untuk mengambil lilin ini dengan giginya. Jika anda benar-benar seorang penguasa, maka masukkan lilin ke dalam mulut anda dan biarkan menyala sampai benar-benar meleleh di dalam mulut anda. Bau Sonbai kemudian membuka mulutnya untuk menaruh lilin-lilin tersebut didalam mulutnya, dan tidak ada lilin yang terlihat itu telah meleleh. Dia memberikan satu lilin kepada salah satu staf VOC agar bisa membakar lilin seperti dia, tetapi staf VOC itu tidak bisa melakukannya.
Setelah itu pihak VOC berkata kepada sang kaisar : jika anda benar-benar seorang penguasa, maka kami akan mengambil besi besar dan menimbang anda dengan besi itu. Jika anda benar-benar seorang penguasa, anda akan melebihi berat besi ini. Jika anda bukan seorang penguasa, maka berat besi ini akan melebihi berat anda. Bau Sonbai segerai menggantungkan dirinya di salah satu ujung timbangan, dan mereka meletakkan beban besi yang besar di ujung timbangan lainnya. Awalnya kedua ujung timbangan memiliki berat yang sama atau seimbang, tetapi kemudian tiba-tiba berat Bau Sonbai menjadi lebih berat melebihi berat besi tersebut.
Kemudian Bau Sonbai sebaliknya berkata kepada VOC: genggamlah bumi ini menjadi sebuah bola dan timbanglah aku dengan itu. Jika saya hanya seberat bumi ini, maka ini adalah tanah saya; maka saya penguasanya, bumi memiliki berat yang sama seperti saya.
Saat itu, pihak VOC mulai berpikir bahwa Bau Sonbai sebagai penguasa memiliki banyak pengaruh di pulau Timor dan triknya mengalahkan trik VOC sehingga sulit untuk menguasai wilayahnya. Oleh karena itu, Bau Sonbai harus diasingkan ke negeri lain. Akhirnya Bau Sonbai ditangkap dan diasingkan ke negeri lain yang lokasinya tidak diketahui oleh keluarganya pada saat itu.
Setelah Bau Sonbai diasingkan, kedua anak perempuan itu menangis dan terus menangis, memikirkan ayah mereka yang tak pernah bersama mereka lagi, sedangkan bocah laki-laki kecil yang belum tahu apa-apa tetap bersama kedua kakak perempuannya. Air mata mereka semakin hari semakin deras berderai. Air mata tersebut jatuh ke tanah dan mengalir masuk dibawah sebuah batu sebagai pondasi pilar utama dari tiang penyangga yang terletak di tengah-tengah rumah mereka. Kemudian dari bawah batu sebagai pondasi pilar utama dari tiang penyangga, keluarlah mata air besar. Mata air ini kemudian disebut dengan Oe-Pula atau Oe-Pura. Tiang utama masih berdiri di tengah-tengah mata air saat ini. Oepura tercipta dari Air Mata yang kemudian berubah menjadi Mata Air.
Catatan :
cerita ini dapat ditemukan dalam artikel dari Piter Middelkoop dengan judul: Let’s Over Sonba’i, Het Bekende Vorstengeslacht op Timor yang telah dipublikasikan pada tahun 1938. Kemudian secara singkat, cerita ini kembali diceritakan oleh Hans Hagerdal dalam bukunya dengan judul : Responding to the West: Essays on Colonial Domination and Asian Agency.. The Exile of the Liurai: A Historiographical Case Study from Timor, (page 60-61) yang telah dipublikasikan pada tahun 2009. Peristiwa ini kemudian oleh orang-orang Atoni pada waktu itu, dikenal sebagai pengkhianatan dari VOC kepada kaisar Sonbai Besar, dimana Bau Sonbai ditangkap setelah memenangkan kontes dengan VOC. Menurut catatan dokumen VOC, Perpindahan Bau Sonbai ke Kupang karena ada persoalan atau perselisihan internal diantara level aristokrat di kerajaan Sonbai; Bau Sonbai diasingkan ke Batavia; dan peristiwa kontes tersebut terjadi sekitar tahun 1752.
Arti Nama Oepura
Oepura, terdiri dari dua (2) suku kata, yaitu “Oe” yang berarti ”Air” dan “Pura” yang berarti “Menggelagak” (berasal dari kata dasar gelegak). Gelegak mempunyai arti “berbual-bual dan berbunyi” (seperti air mendidih pada waktu direbus). Oleh karena itu, Oepura dapat diartikan sebagai air yang berbual-bual dan berbunyi (Kolff 1892:202).
Singkat cerita bahwa tanah di mata air Oepura dan sekitarnya adalah pemberian dari raja Kupang (Helong) kepada kaisar Sonbai Besar. Keturunan Nai Bau Sonbai, yaitu Nai Tafin Sonbai (putra dari Nai Bau Sonbai) dan Nai Kau Sonbai (cucu dari Nai Bau Sonbai) pernah menempati Oepura, namun keturunan tersebut tidak pernah tinggal tetap (permanen). Dalam beberapa dokumen, Nai Kau Sonbai juga dikenal sebagai Baki Nisnoni (Veth 1855:79-80; Heijmering 1847:38-39;192 dan Hagerdaal 2012: 101;419).
Sehubungan dengan kedatangan lanskap Foenay ke Kupang, raja Kupang menempatkan komunitas Foenay di Polla (dekat mata air Oepura). Sebelumnya lanskap ini menetap di Pasi-Takaeb di Fatuleu, dan kemudian berpindah ke Tualeu. Kemudian hubungan antara Lanskap Foenay dan Semau diperkuat melalui ikatan perkawinan di level aristokrat. Sekitar 1840-an, sebuah sekolah dibangun di Polla. Jumlah murid pada waktu itu, sekitar 30 murid dan masih dapat ditingkatkan sampai 50-60 murid (Nederlandsch Bijbelgenootschap 1842:95). Eksistensi kampung Polla menjadi sah pada tanggal 19 Mei 1877, ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad. No. 105 Tahun 1877 tentang Peraturan Milisi Untuk Kupang, dimana pada pasal 33, Polla merupakan salah satu kampong yang termasuk dalam wilayah Ibukota Kupang (Dutch East Indie- Staatsblad 1877:6).
Sebelum tahun 1882, air dari mata air Oepura banyak digunakan untuk mengairi sawah yang luas antara Polla dan kampung Oebufu bagian Timur (sebuah pemukiman orang-orang Rote). Di Polla sejumlah kebun kelapa dan Pinang menghiasi tempat tersebut, namun di disekitar Polla masih hutan belantara. Disekitar mata air Oepura terdapat beberapa pohon waringin (beringin) peneduh yang besar, juga merupakan semacam tempat peristirahatan bagi semua penduduk asli yang pergi ke tempat lain atau ke Kupang atau kembali dari sana (G.Kolff 1892: 202).
Oleh karena itu, banyak orang sering ditemukan berkumpul di sana di tengah hari di tempat berteduh tersebut, dimana orang-orang berpesta pora dengan sebotol laru (laru adalah sari buah lontar yang difermentasi, juga gula air yang difermentasi) dan berbagi (sharing) berita terkini, atau mengambil kesempatan untuk bermain dadu dari uang yang mereka peroleh pada saat mereka menjual sayuran, buah-buahan, telur, dll di Kupang (G.Kolff 1892: 202).
Swapraja Kupang terbentuk pada tanggal 14 Desember 1917 melalui Staatsblad no. 726 tahun 1917 tentang : Pembuatan lanskap baru dengan nama "Koepang" dan fasilitas terkait (Vorming van een nieuw landschap onder den naam “Koepang” en daarmede verband houdende voorzieningen). Swapraja ini terdiri dari beberapa kefetoran: Semau, Taebenu, Amabi, Foenay, Sonbai Kecil dan Amabi Oefeto (K.V. 1918:35). Swapraja Kupang dipimpin oleh seorang Bestuurder (pejabat pemerintah atau pelaksana pemerintahan). Bestuurder di lanskap Kupang adalah D.H Tanof 1918; Nicolaas Nisnoni 1919-1945; Alfonsus Nisnoni 1945-1949 (Dutch East Indie 1920:290).
Polla sebagai pusat pemerintahan kefetoran Foenay semakin berkembang karena pertambahan jumlah penduduk dari berbagai etnis pada abad 20. Dari pertambahan jumlah penduduk ini, mengakibatkan nama Oepura (Diambil dari nama mata air) lebih familiar digunakan oleh penduduk setempat daripada nama Polla. Oleh karena itu pada tahun 1969, Oepura sebagai nama mata air digunakan sebagai nama Desa, ketika Kota Kupang resmi berubah status menjadi sebuah kecamatan (Leirissa dkk 1983:52).
Sumber :
1842, Nederlandsch Bijbelgenootschap. Handelingen der Vier en Veertigste Algemeene Vergadering van het Nederlandsche Bijbelgenootschap.
1847, G. Heijmering. Geschiedenis Van Het Eiland Timor.
1855, Pieter Johannes Veth. Het eiland Timor.
1877, Dutch East Indie, Staatsblad van Nederlandsch-Indie.
1892, G. Kolff. Tijdschrift voor het binnenlandsch bestuur, Zevenoe Deel.
1918, Koloniaal Verslag.
1920, Dutch East Indie. Regeerings -Almanak Voor Nederlandsch-Indie, Tweede Gedeelte.
1938, Piter Middelkoop. Let’s Over Sonba’i, Het Bekende Vorstengeslacht op Timor.
1983. M. Soenjata Kartadarmadja, Kuntowidjojo dan R.Z. Leirissa. Sejarah Sosial di Daerah Nusa Tenggara Timur, 1945-1980.
2009, Hans Hagerdaal. The Exile of the Liurai: A Historiographical Case Study from Timor. Responding to the West: Essays on Colonial Domination and Asian Agency.
2012, Hans Hagerdaal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and adaptation in early colonial Timor, 1600-1800