Peradaban Suku Helong: Alasan Suku Helong Banyak Tinggal Di Kupang Barat

 

suku helong di kupang

Peradaban Suku Helong: Alasan Suku Helong Banyak Tinggal Di Kupang Barat

Oleh Sonny Pellokila


Awal Mula Suku Helong Di Kupang

Dari beberapa pendapat yang ada dalam beberapa referensi, memprediksikan bahwa disekitar barak atau asrama Yonif 743 TNI AD saat ini atau dulunya dikenal dengan Fort Concordia merupakan lokasi atau tempat awal peradaban suku Helong di Kupang yang dikenal dengan nama “Kaisalun”. 


Pada tahun 1463, nama Kaisalun digunakan sebagai nama Bandar alam atau pelabuhan alam di sekitar teluk Kupang (Kupang Bay) dengan nama Kaisalun Bunibaun. Kaisalun dan Bunibaun merupakan tempat peradaban awal suku Helong di KupangKaisalun memiliki arti sebagai Cendana (Kai=Kayu atau Pohon dan Salun=Cendana).




Sebuah batu yang berukuran besar dan letaknya tidak jauh dari Kaisalun oleh suku Helong yang menempati Kaisalun dan Bunibaun menyebutnya dengan nama “Fatufeto Tuan”
Fatufeto Tuan artinya “Batu Perempuan atau Batu Besar” (Fatu=Batu, Feto=Perempuan dan Tuan=Besar). Kaisalun tidak menjelma menjadi Fatufeto Tuan sebab Kaisalun dan Fatufeto Tuan merupakan dua (2) nama yang berbeda, dua (2) tempat yang berbeda dan masing-masing memiliki arti yang berbeda.


Kaisalun merupakan wilayah sentral dari suku Helong 

Kaisalun merupakan wilayah sentral dari suku Helong karena ditempat tersebut terletak Sonaf raja Kupang dan ditempati oleh klan raja, sedangkan Fatufeto Tuan merupakan area disekitar pusat sentral yang ditempati oleh salah satu klan dari komunitas suku Helong yang bernama “Bamae”. Kini klan Bamae bertempat tinggal di Uihani, Bolok.




Suku Helong Berpindah-pindah: Lari Ke Semau

Sekitar tahun 1650 atau hampir mendekati dua (2) abad menempati Kaisalun dan Bunibaun, raja Kupang yang memimpin komunitas Helong memutuskan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Kaisalun ke Attrai. Jarak Attrai ke pusat kota sekitar tiga perempat (¾) mil atau sekitar 45 menit perjalanan dengan kuda. 

Attrai merupakan wilayah sentral dari suku Helong karena ditempat tersebut terletak Sonaf raja, sedangkan Oeleta merupakan area disekitar pusat sentral yang ditempati oleh komunitas suku Helong. Perpindahan ini menandakan bahwa tempat peradaban awal suku helong di Kupang, yaitu Kaisalun dan Bunibaun telah ditinggalkan.


Sebuah kejutan terjadi dimana Portugis Hitam (Topass) menyerang komunitas suku Helong dengan bantuan Amarasi di Attrai pada tahun 1653. Dalam serangan tersebut terdapat 206 orang meninggal, kebanyakan perempuan dan anak-anak, dibantai dan kepala mereka diambil. Untuk menyelamatkan diri, raja Kupang berusaha melarikan diri ke benteng yang pada waktu itu sudah dikuasai oleh VOC.



Selama 1654, Portugis Hitam, Amarasi dan Takaip, memberikan tekanan besar pada penduduk Helong. Komunitas Helong tampaknya telah meninggalkan pemukiman utama mereka di Attrai dan Oeleta, kemudian pindah ke sebuah pemukiman yang lebih dekat ke Benteng Concordia. Namun demikian, situasinya tetap tidak aman. Pasukan musuh yang cukup besar merampok sembilan pemimpin klan komunitas Helong tepat di luar benteng, tampaknya tanpa ada tindakan yang diambil VOC. Tidak ada orang lokal atau orang VOC yang berani berjalan jauh dari benteng pada waktu itu.


Dengan keadaan seperti ini, raja Kupang memutuskan untuk pindah ke Pulau Semau (Boenlain Limlain). Perpindahan ini menandakan bahwa pemukiman disekitar benteng yang ditempati oleh komunitas Helong telah ditinggalkan. Kemudian pada tahun 1664, mereka kembali ketika terjadi "wabah penyakit dan kematian yang meluas", khususnya di Semau. Penyakit ini bermanifestasi dengan sendirinya dalam semacam wabah sakit di tenggorokan: “meski masih sehat di malam hari, mereka bisa mati keesokan harinya”.



Mengapa Orang Helong banyak Tinggal Di Kupang Barat

Hanya sebagian komunitas suku Helong yang kembali ke Kupang dan sebagiannya tetap menetap di pulau Semau. Mereka yang kembali ke Kupang menempati wilayah yang cukup jauh dari pusat kota. Wilayah yang ditempati oleh suku Helong sejak kembalinya mereka dari Semau adalah Klaibe, Tablolong, Uilesa, Uimatnunu, Bone Ana, Alak, Binael, Bolok, Bisamarak, Iungboken, Uilatsala, Uihani, Biupu dan Kolhua.

Sumber:
  • 1847, G. Heijmering. Bijdragen tot de geschiedenis van Timor, Tijdschrift van Nederlandsch-Indië IX-3:1-62, 121-232.
  • 1878, Batavia ter Landsdrukkerij. Staatsblad van Nerderlandsch-Indie over het jaar 1877.
  • 1898, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1907, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1912, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1913, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1947, C.R Boxer. The Topasses of Timor. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut
  • 1968, P. Middelkoop. Migrations of Timorese groups and the question of the Kase Metan or overseas black foreigners’, Internationales Archiv für Ethnographie.
  • 1971, H. G. Schulte Nordholt. The Political system of the Atoni of Timor. The Hague: Nijhoff.
  • 1983, Drs. R.Z. Leirissa, Dr. Kuntowidjojo dan Drs. M. Soenjata Kartadarmadja. Sejarah sosial di daerah Nusa Tenggara Timur.
  • 2005, I Ketut Ardhana. Penataan Nusa Tenggara pada masa kolonial, 1915-1950.
  • 2012, Hans Hagerdal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and Adaption in early colonial Timor, 1600-1800.
  • 2012, I.A. Luitnan, Koepang Tempo Doeloe.
  • 2018. Workshop on Documenting Minority Languages in Nusa Tenggara Timur Indonesia. Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Nusa Tenggara Timur.
  • 2018, Dra. Nurarta Situmorang, M.Si. Citra Kota Kupang dalam Arsip. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.
  • 2019, Prilly Esterina D. Saudale, Dr. Wara Indira Rukmi, ST, MT dan Antariksa, M.Eng, Ph.D. The Influence of Power Towards Spatial Change in the History of Kupang Old Town Development.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel