Sejarah Kampung Sabu Di Fatufeto, Kampung Solor, Kampung Merdeka Oeba

sejarah kelurahan fatufeto

Momentum Pertempuran Penfui (Battle Of Penfui) Menandakan Lahirnya Kampung Sabu Di Fatufeto Sebagai Cikal Bakal Desa Fatufeto

Oleh Sonny Pellokila

Sejarah Kampung Sabu Di Fatufeto, Kampung Solor, Kampung Merdeka Oeba 

Menjelang Battle of Penfui (Pertempuran Penfui), VOC meminta bantuan pasukan dari sekutunya, yaitu Sawu, Solor dan Rote untuk melawan Portugis Hitam (Topas). Beberapa waktu kemudian datanglah pasukan dari Sabu berjumlah 240 orang.


Dalam pertempuran besar ini, Portugis Hitam bersama sekutunya dipimpin oleh Tinenti General Gaspar da Costa dan dibantu oleh Tinenti Coronel Siko Bres serta Capitao mor da Povoacao Dominggo da Faria. Menurut tradisi lisan, pasukan berkumpul di Nunuhenu, Ambeno dan kemudian berbaris menuju Penfui. Total kekuatan pasukan sekitar 20.000-40.000 orang.




Kehadiran pasukan Portugis hitam dan sekutunya di Penfui membuat seluruh penduduk di Koepang gemetar dan ketakutan. Lebih dari tiga per empat (¾) penduduk Koepang telah melarikan diri ke pulau Semau. Bahkan opperhoofd Van der Burgh sebagai kepala benteng Concordia telah mempersiapkan diri bersama keluarganya untuk melarikan diri ke pulau Semau dengan kapal dari Solor yang berlabuh di pelabuhan alam Kaisalun Bunibaun, jika pasukan Potugis hitam dan sekutunya menang dalam pertempuran.


Pasukan VOC bersama sekutunya dipimpin oleh Ensign Christoffel Lipp dengan kekuatan 130 orang mardijkers yang dipimpin oleh Frans Mone Kana, 240 orang dari Sabu, 60 orang dari Solor, 30 orang dari Rote, 1 orang sersan dan 2 orang kopral, 20 orang Eropa, dan beberapa orang yang sedang mengalami masa tahanan di penjara serta beberapa sukarelawan. Semua pasukan diperlengkapi senjata api dan bubuk mesiu oleh VOC pada malam sebelumnya.







Pada tanggal 9 November 1749, semua pasukan gabungan dari VOC berbaris menuju Penfui. Perang fisik dimulai pada subuh dini hari pada tanggal 10 November 1749. Dalam pertempuran Penfui (Battle of Penfui) sekitar 2.000 orang tewas, termasuk perwira Portugis hitam dan tiga raja pribumi. Sedangkan di pihak VOC bersama sekutunya hanya 19 orang dari pasukan raja-raja Timor yang baru membelot ke VOC, seorang Mardijker dan 2 orang sukarelawan.

Kampung Sabu Di Fatufeto sebagai Sejarah Lahirnya Desa Fatufeto: 

Dulunya nama “Kampung Sabu” lebih terkenal dari pada nama “Fatufeto” sebagai tempat tinggal komunitas orang Sabu. Seperti juga Kampung Solor lebih terkenal daripada “Klimbungan" dan Kampung Merdeka lebih terkenal daripada “Oeleu”. Dalam beberapa dokumen Belanda, kampung Sabu di Fatufeto sering disebut dengan “Suba Tatoe Tetto” (Sabu Fatu Feto).


Sebelum pasukan dari Sabu menempati Fatufeto, kampung Cina yang terletak diseberang sungai dendeng atau disekitar Bunibaun telah ada, namun populasi Tionghoa di kampung tersebut masih sangat kecil. Menjelang akhir abad 17, perkampungan Tionghoa mulai diperluas ke arah pinggiran kiri dan kanan sungai dendeng dan juga menuju kampung Solor. Selain itu, telah hadir juga beberapa etnis keturunan India disekitar pinggiran sungai tersebut.



Pada awal abad 18, populasi komuniitas Sabu di Kampung Sabu Fatufeto semakin meningkat dan kemudian komunitas ini mulai menyebar ke beberapa wilayah di sekitar Fatufeto, yaitu Nunhila, Namosain dan Fontein. Pada pertengahan abad 18 telah muncul berbagai etnis atau suku yang menempati disekitar kampung Sabu Fatufeto. Pada akhirnya nama kampong Sabu semakin lama semakin menghilang. Orang-orang dari berbagai etnis atau suku mulai menyebut tempat tersebut dengan nama “Fatufeto”, kembali seperti semula pada awal komunitas suku Helong menempati lokasi tersebut.



Eksistensi kampung Fatufeto

Eksistensi kampung Fatufeto menjadi sah pada tanggal 19 Mei 1877 ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad. No. 105 Tahun 1877 pasal 33, tentang kampung-kampung yang termasuk dalam wilayah Kupang adalah:
1. Tatoe Tetto, 
2. Fontein, 
3. Aer-Mata, 
4. Bonik, 
5. Mardika, 
6. Obah, 
7. Kampong Solor, 
8. Namsain, 
9. Bakoelnassi, 
10. Passer Panjang, 
11. Polla, 
12. Konino, 
13. Nonhila.


Dalam rangka persiapan Kupang menjadi sebuah Kota, Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan status “kampung” dinaikan menjadi “desa”. Desa yang dimaksud adalah kampung yang terletak dibagian Kota. Pada tahun 1881, terdapat 7 kampung yang statusnya telah berubah menjadi desa, yaitu Fatufeto, Nun hila, Airmata, Fontein, Solar, Tade Kisar dan OEba.

Kepala Desa Pertama Desa Fatufeto

Kepala Desa ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kepala Desa Fatufeto yang pertama adalah A. Hambokauw. Dalam beberapa referensi lain, “A. Hambokauw” ditulis dengan “A. Hombokan” atau “J. Hambokauw”. Saat itu pusat pemerintahan wilayah Fatufeto berubah-ubah mengikuti tempat tinggal kepala Desa.



VOC Berikan Tanah Ke Pasukan Dari Sabu

Atas kesuksesan pasukan dari Sabu , VOC memberikan sebuah bidang tanah di dekat Benteng Concordia, yaitu Fatufeto Tuan dengan syarat bersedia menjadi Mardijker dan mendapat gaji atau upah. Pemimpin pasukan dari Sabu bersama pengikutnya memutuskan untuk menetap di tempat tersebut dan membangun komunitas Sabu di Fatufeto Tuan yang kemudian dikenal dengan nama “Kampung Sabu” di Fatufeto. Penempatan pasukan dari Sabu di Fatufeto Tuan juga dianggap sebagai migrasi pertama orang Sabu ke pulau Timor. Sejak saat itu, nama Fatufeto Tuan hanya disebut dengan Fatufeto. Komunitas Sabu di Fatufeto merupakan cikal bakal terbentuknya Desa Fatufeto.


Sejarah Kampung Solor dan Merdeka

Hal yang sama juga dilakukan bagi pasukan dari Solor yang di tempatkan di “Klimbungan Baruneno” yang kemudian dikenal dengan nama “Kampung Solor”. VOC melakukan hal ini, semata-mata agar Benteng Concordia terlindungi dari ancaman musuh karena pada setiap posisi telah ditempatkan pasukan mardijker dari Sabu dan Solor. Sebelumnya telah di tempatkan pasukan Mardijker dari berbagai etnis atau suku di “Oeleu” yang kemudian dikenal dengan nama “Kampung Mardhyka” (Mardika) atau dikenal juga dengan nama “Kampung Merdeka”. Frans Mone Kana (Gideon asal Sabu) adalah pemimpin pasukan Mardijker pada tahun 1749 bertempat tinggal di Kampung Merdeka.


BACA JUGA:



Batas-batas Kota Kupang

Pada tanggal 15 April 1886 dengan Lembaran Negara no. 171 tahun 1886, Residen Greeve menetapkan batas batas kota Kupang yang disebut "Vierkante paal gebied". Adapun batas-batas kota Kupang sebelah Barat ke arah Tenau sampai Kampung Nun Hila. ke sebelah Timur ke arah Pasir Panjang batas sampai di dekat Kantor Sinode GMIT. Kejurusan Air Mata sampai di Jembatan Gantung di Mantasi dan ke jurusan Kuanino batasnya dekat Rumah Sakit Tentara sekarang. Pada tiap-tiap tanda batas terdapat tugu (paal), dan didirikan sebuah gardu jaga yang harus dijaga oleh penduduk secara bergilir. Wilayah Kota Kupang tersebut disebut Rechts Treek Bestuurs gebied. Daerah ini meliputi desa Fatufeto, Nun hila, Airmata, Fontein, Solor, Tade Kisar dan OEba.




Sumber:
  • 1847, G. Heijmering. Bijdragen tot de geschiedenis van Timor, Tijdschrift van Nederlandsch-Indië IX-3:1-62, 121-232.
  • 1878, Batavia ter Landsdrukkerij. Staatsblad van Nerderlandsch-Indie over het jaar 1877.
  • 1898, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1907, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1912, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1913, Dutch East Indies. Regeerings almanak voor Nederlandsch-Indië.
  • 1947, C.R Boxer. The Topasses of Timor. Amsterdam: Koninklijke Vereeniging Indisch Instituut
  • 1968, P. Middelkoop. Migrations of Timorese groups and the question of the Kase Metan or overseas black foreigners’, Internationales Archiv für Ethnographie.
  • 1971, H. G. Schulte Nordholt. The Political system of the Atoni of Timor. The Hague: Nijhoff.
  • 1983, Drs. R.Z. Leirissa, Dr. Kuntowidjojo dan Drs. M. Soenjata Kartadarmadja. Sejarah sosial di daerah Nusa Tenggara Timur.
  • 2005, I Ketut Ardhana. Penataan Nusa Tenggara pada masa kolonial, 1915-1950.
  • 2012, Hans Hagerdal. Lords of the land, Lords of the sea. Conflict and Adaption in early colonial Timor, 1600-1800.
  • 2012, I.A. Luitnan, Koepang Tempo Doeloe.
  • 2018. Workshop on Documenting Minority Languages in Nusa Tenggara Timur Indonesia. Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Nusa Tenggara Timur.
  • 2018, Dra. Nurarta Situmorang, M.Si. Citra Kota Kupang dalam Arsip. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta.
  • 2019, Prilly Esterina D. Saudale, Dr. Wara Indira Rukmi, ST, MT dan Antariksa, M.Eng, Ph.D. The Influence of Power Towards Spatial Change in the History of Kupang Old Town Development.

Sumber Gambar : Koleksi Digital Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel