Prinsip Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Terdapat Lima Prinsip Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Dengan menggunakan kerangka Design Principles of Resources Management (Ruddle, 1999), tinjauan kritis adopsi kelembagaan lokal/adat dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan sebagai sebuah unit manajemendilakukan terhadap unsur-unsur sebagai berikut: 

 Design Principles of Resources Management Prinsip Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

(1) definisi batas sistem kawasan dan kawasan; 
(2) sistem hak bagi pengguna kawasan dan sumberdaya; 
(3) aturan main yang diterapkan bagi keberlanjutan kegiatan pemanfaatan kawasan dan sumberdaya; 
(4) sistem penegakan hukum bagi aturan main yang telah disepakati; 
(5) monitoring dan evaluasi bagi implementasi pengelolaan kawasan dan sumberdaya itu sendiri; 
(6) otoritas pengelolaan kawasan dan sumberdaya sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap proses dan mekanisme implementasi dari pengelolaan perikanan.


A. Batasan Sistem Kawasan dan Sumberdaya Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Sesuai dengan konteks spasial, penetapan batasan sistem kawasan dan sumberdaya menjadi sangat penting khususnya dalam tahapan proses ketika masyarakat pengguna sumberdaya dilibatkan. Hal ini menyangkut pengetahuan lokal tentang batasan sumberdaya sumberdaya, khususnya batasan wilayah perairan yang menjadi obyek kegiatan konservasi. Dalam kerangka ini, adopsi pengetahuan lokal yang terinstitusionalisasi ke dalam kelembagaan adat/lokal pengelolaan kawasan konservasi perairan perlu dilakukan ketika misalnya rencana pengelolaan perikanan disusun. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih juridiksi spasial antara pengelolaan perikanan formal dan pengelolaan perikanan berbasis kelembagaan adat/lokal. Skenario terbaik adalah mentransformasi pengelolaan perikanan berbasi kelembagaan lokal/adat menjadi pengelolaan perikanan formal.

B. Sistem Hak Bagi Pengguna Kawasan dan Sumberdaya Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Salah satu key factor dalam dinamika perikanan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena prinsip pengelolaan perikanan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (rights-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan perikanan itu sendiri. Menurut Ostrom and Schlager (1996) dalam Adrianto (2006), paling tidak ada dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-levelrights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga merupakan jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan.

Tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur ”siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan ”siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama (use rights). Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang masuk dalam ketegori collective-choice rights adalah hak eksklusi (exclusion rights) yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan hak akses (access rights) maupun panen (harvest rights) dan hak alienasi (alienation rights) yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan.

Dalam konteks tinjauan kritis kelembagaan adat/lokal, otoritas pengaturan hak (rights allocation) berada pada institusi kesepakatan adat yang secara turun temurun mengatur hal ini, atau melalui kesepakatan lokal dengan tujuan menjamin keadilan bagi pengguna sumberdaya. Panglima Laot di Aceh misalnya menetapkan alokasi spatial rights bagi pengguna sumberdaya di kawasan Lhok tertentu. Sementara adat Parompong di Sulawesi Selatan mengadopsi aturan adat untuk penetapan alokasi rumpon, sedangkan Manee di Sulawesi Utara memberikan alokasi hak kepada Ketua Adat untuk menetapkan siapa yang dapat menangkap ikan di kawasan Manee. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan harus adaptif terhadap kesepakatan adat dan atau kesepakatan lokal yang dibangun dari nilai-nilai lokal. Dengan demikian, upaya penting lainnya yang perlu dilakukan adalah memformulasi nilai-nilai lokal sebagai shared vision bagi seluruh pengguna sumberdaya perikanan di kawasan pengelolaan.


C. Sistem Aturan Main Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Esensi fundamental pengelolaan perikanan pada dasarnya terletak pada sistem aturan main bagi pengelolaan perikanan itu sendiri. Dalam konteks aturan main ini, masuk pula konteks perangkat pengelolaan (management measures) sebagai alat (tools) bagi implementasi pengelolaan perikanan. Aturan main disusun berdasarkan isu strategis dan bersifat prioritas bagi tercapainya tujuan bersama yang telah disepakati. Menurut UU No 31/2004 tentang Perikanan, rencana pengelolaan perikanan ditetapkan oleh Menteri di mana di dalamnya mencakup pula perangkat pengelolaan perikanan seperti alokasi jumlah kapal, alokasi sumberdaya perikanan dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, adopsi kelembagaan adat/lokal dalam penetapan perangkat pengelolaan perikanan menjadi penting khususnya yang terkait dengan prinsip pengelolaan perikanan adaptif dan partisipatif. Sebagai contoh, aturan main yang telah disepakati seperti kasus pengelolaan perikanan Kabupaten Aceh Besar melalui kelembagaan panglima laot yang melarang penggunaan trawl dan beralih kepada pemanfaatan alat tangkap yang selektif dan bersifat pasif menjadi salah satu contoh adopsi kesepakatan lokal dalam pengelolaan perikanan daerah. 


D. Sistem Sangsi dan Penegakan Hukum Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan dan sumberdaya adalah aspek governanceadalah penegakan hukum. Secara formal, UU No 31/2004 tentang Perikanan menetapkan sistem sangsi yang cukup keras bagi pelanggaran-pelanggaran perikanan. Sebagai contoh, unsur pengadilan perikanan menjadi salah satu mekanisme penegakan hukum formal seperti yang diamanatkan oleh pasal 71 UU No 31/2004. Dalam konteks adopsi kelembagaan lokal/adat, sistem penegakan hukum seharusnya didisain dalam kerangka ko-manajemen perikanan sehingga dalam jangka panjang proses penegakan hukum bersifat efektif dan efisien karena alokasi biaya dapat diminimalisir dengan mengurangi kerangka proses hukum secara struktural. Dengan demikian, penyelesaian masalah pelanggaran perikanan melalui mekanisme kelembagaan adat/lokal dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien. 


E. Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 

Pengelolaan perikanan adalah sebuah proses yang berkelanjutan, iteratif, adaptif dan partisipatif yang terdiri dari sebuah set tugas yang saling terkait satu sama lain dan harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pomeroy and Rivera-Guieb, 2006 dalam Adrianto, 2007). Dalam konteks ini, proses perencanaan harus dimonitor agar sistem yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana, dan harus dievaluasi dalam konteks bahwa perlu proses pembelajaran dari kesuksesan maupun kegagalan dari sistem yang sudah berjalan. Untuk itu, proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya sea farming perlu dilakukan.
Jacoby, et al. (1997) dalam Adrianto (2007) menyebutkan bahwa kerangka Monitoring dan Evaluasi (MDE) merupakan sebuah timbal balik berkelanjutan terhadap proses pengelolaan perikanan untuk kemudian menghasilkan ”feedback” dan ”feedout” bagi stakeholders perikanan. Kerangka Jacoby menitikberatkan pada proses manajemen yang saling terkait satu sama lain, bersifat sekuens, dan pada masing-masing sekuens terdapat feedback dan pada akhirnya akan menghasilkan feed-out kepada stakeholders .

Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Mengacu pada kerangka Jacoby, et.al (1997) di atas, maka proses kontrol, organisasi, perencanaan, implementasi dan monitoring dirancang melalui kesepakatan lokal baik yang bersumber pada nilai-nilai adat lokal maupun oleh kesepakatan lokal itu sendiri. Dalam konteks adopsi kelembagaan lokal/adat, nilai-nilai lokal dalam pengawasan dan monitoring pengelolaan perikanan menjadi sangat penting untuk diidentifikasi. Sistem monitoring dan pengawasan yang dilakukan oleh kelompok Awig-Awig LMNU di Kabupaten Lombok Timur misalnya memberikan inspirasi terhadap efektivitas pengelolaan perikanan di tingkat lokal.

Dari uraian tersebut di atas, adopsi kelembagaan lokal/adat yang diinisiasi oleh pengguna sumberdaya dan pengelolaan perikanan formal yang digagas oleh pemerintah memerlukan mekanisme jembatan (bridging mechanism). Dalam konteks ini, rejim pengelolaan perikanan bersama (ko-manajemen perikanan) dapat menjadi alternatif bagi pengelolaan perikanan di Indonesia karena pada dasarnya ko-manajemen perikanan menitikberatkan pada pembagian tanggung jawab antara pemerintah (government) dan pengguna sumberdaya (resources users). Demikian artikel tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan 


Sumber: 
LAPORAN LOKAKARYA. Kawasan Konservasi dan Jenis Ikan, Ditjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemitraan dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bogor, 5 Februari 2013.


Artikel ini disesuaikan dari berbagai sumber, Mohon maaf bila ada informasi yang kurang tepat, karena "TIADA GADING YANG TIDAK RETAK".

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel