Perempuan Sabu Menulis Kisah Melalui Tenunan: Motif Tenun Hubi Iki Di Kalangan Wanita Suku Sabu
Hebe "Hubi Iki" Keturunan Lou Babo
Motif "Hubi Iki" Wanita Suku Sabu: Perempuan Sabu Menulis Kisah Melalui Tenunan
Dalam kisah perempuan Sabu, motif sarung si bungsu Lou Babo ini lebih melambangkan perlindungan. Tempat perlindungan itu dapat dilihat dalam karya nyata dari rumah asli Sabu yang berbentuk perahu. Ini menjadi cikal bakal ide pembuatan rumah Sabu berbentuk perahu. Bagi orang Sabu, rumah adalah karya fisik buatan laki-laki dan perempuan. Perempuan [yang keturunan Lou Babo] menulis seluruh gagasan, pengalaman, dan sejarah mereka dalam sarung yang disebut dengan "Ei Led'do" melalui motif bunga karang dan lingkaran elips.1. Hebe Wo Boi dan Hebe Keware Hawu
Hebe Wo Boi dan Motif Keware Hawu menjadi cara bagi perempuan Sabu untuk mengenang sejarah perjalanan dari lautan sampai leluhur mereka menetap di Pulau Sabu dan membangun rumah tinggal. Motif ini, bercerita banyak hal dari fakta-fakta dan pesan pengalaman hidup leluhur orang Sabu. Misalnya, perempuan dari Hubi Iki ini menulis bahwa leluhur mereka dulu tinggal di laut, lalu mencapai daratan dan membuat rumah tinggal. Perahu di lautan sebagai rumah tinggal menjadi sumber inspirasi ketika mereka membuat rumah di daratan. Itulah sejarah yang diceritakan dua motif ini.
Awalnya para leluhur diceritakan tinggal di lautan tanpa rumah. Meski demikian mereka kehidupan mereka diibaratkan laksana bunga karang (Wo Boi) yang bernaung di balik karang laut yang kuat. Ini menjadi sumber inspirasi pembuatan motif Wo Boi. Saat mereka beralih hidup di daratan, mereka mulai mencari dan membuat tempat untuk tinggal. Pencarian bentuk tempat tinggal itu dinyatakan dalam bentuk rumah yang dikenal dengan lingkaran elips Sabu (Wo Keware Hawu).
3. Hebe Putenga
Tenga Ga adalah tokoh legenda. Motif ini bercerita tentang perkelahian antara dua suami dari Tenga Ga dan saudara laki-lakinya. Perkelahian dan kematian yang terjadi akibat ucapan dari Tenga Ga yang memancing kemarahan dari saudara laki-lakinya sendiri dengan suaminya. Panas hati, peperangan, dan kematian menjadi catatan/pesan yang disampaikan dalam motif ini.
Peringatan akan leluhur Tenga Ga ini melahirkan Hebe Kekedi (alat tenunan untuk menghaluskan kapas) sebagai lambang pertimbangan. Hebe Kekedi adalah motif untuk mengenang tokoh leluhur Tenga Ga serta peristiwa tragis yang menimpa dia dan keluarganya. Konteksnya di wilayah adat Habba (Seba), motif ini hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari tokoh Tenga Ga.
4. Hebe Jawu [Motif Wo Kelakku dan Peeki Jawu]
Hebe ini bercerita tentang tokoh perempuan yang cantik bernama Jawu. Sang ibu karena tugas mengasuh Jawu, tidak dapat bersama suaminya yang bekerja di ladang. Suaminya kemudian marah pada sang istri karena semua waktu dan perhatian hanya dicurahkan pada Jawu. Karena tak tahan dengan omelan sang suami, akhirnya sang ibu kemudian meninggalkan anaknya di rumah sendirian, lalu ke ladang mengikuti suami.
Ketika anak itu ditinggal sendirian di rumah, kemudian dalam legendanya dikisahkan datanglah dewa penolong, yaitu nenek matahari, mengambil dan membawanya ke singgasananya dan memelihara Jawu. Ketika Jawu sudah dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan tokoh legenda bernama Kelogo Liru. Usai melahirkan anak-anak dengan Kelogo Liru, Jawu turun ke bumi dan tinggal di atas sebuah pohon Heliru.
Menurut legenda, Jawu kemudian menikah beberapa kali, baik di Mehara (ujung barat Pulau Sabu) dan juga di Sabu Timur. Tokoh adat yang menikahinya di Sabu Timur kemudian membuat rumah khusus bagi Jawu yang diberi nama "Kopo Jawu", artinya rumah Jawu. Rumah khusus itu dibuat untuk memenuhi keinginan Jawu yang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya, Bella Hina. Kisah Jawu ditulis pada Motif Wo Kelakku dan Motif Peeki Jawu. Motif tentang kehidupan Jawu dalam cerita legenda orang Sabu.
Menurut legenda, Jawu kemudian menikah beberapa kali, baik di Mehara (ujung barat Pulau Sabu) dan juga di Sabu Timur. Tokoh adat yang menikahinya di Sabu Timur kemudian membuat rumah khusus bagi Jawu yang diberi nama "Kopo Jawu", artinya rumah Jawu. Rumah khusus itu dibuat untuk memenuhi keinginan Jawu yang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya, Bella Hina. Kisah Jawu ditulis pada Motif Wo Kelakku dan Motif Peeki Jawu. Motif tentang kehidupan Jawu dalam cerita legenda orang Sabu.
5. Hebe Jingi Wiki
Hebe Jingi Wiki terdiri dari bunga besar dan kecil dengan banyak tangkainya. Bunga-bunga itu melambangkan kehidupan Nida. Motif ini diklaim oleh anak-cucu garis keturunan Nida, dan orang lain dilarang memakainya atau menirunya sebab dipercayai akan seperti Nida.
Motif ini menceritakan tentang tokoh perempuan bernama Nida. Ia dimitoskan sebagai perempuan magis dan gaib. Kekuatan magisnya dapat memisahkan istri-istri dari para suaminya. Bila tokoh ini hadir dalam sebuah rumah/keluarga, maka sang istri akan keluar meninggalkan suaminya. Bila sang istri menetap di rumah, resikonya adalah kematiannya.
Motif ini menceritakan tentang tokoh perempuan bernama Nida. Ia dimitoskan sebagai perempuan magis dan gaib. Kekuatan magisnya dapat memisahkan istri-istri dari para suaminya. Bila tokoh ini hadir dalam sebuah rumah/keluarga, maka sang istri akan keluar meninggalkan suaminya. Bila sang istri menetap di rumah, resikonya adalah kematiannya.
Kehidupan Nida yang poliandri ini menghasilkan keturunan hampir di seluruh wilayah Pulau Sabu. Tokoh magis ini diberi nama julukan Jingi Wiki, artinya yang memisahkan. Sejarah tokoh magis Nida alias Jingi Wiki tersebut ditulis dalam Motif Jingi Wiki.
6. Hebe Mahi Dole
Hidup dan sejarah Mahi Dole ditulis dalam motif berbentuk perahu yang diberi nama Mahi Dole. Tokoh mitos ini dikenal sebagai yang memilki kekuatan sihir (kewa'ga: Sejenis Swanggi). Karena kekuatan sihir itu, ia dibuang ke laut oleh saudara-saudaranya di Selat Raijua (ujung barat Pulau Sabu dan ujung timur Pulau Raijua). Mahi Dole selamat dan terdampar di pantai barat Pulau Sabu. Dia ditemukan oleh dua laki-laki pemburu di hutan dan dibawa kepada Raja. Kehadirannya meresahkan Raja karena kekuatan magisnya.
Selanjutnya dikisahkan Mahi Dole hampir terbunuh dalam sebuah skenario yang dibuat Raja, yakni waktu upacara pemulihan kematian, seekor kerbau dibunuh. Di atas binatang korban itu Mahi Dole dimuat untuk dibunuh, tetapi dikisahkan ia selamat.
Mengenang leluhur Mahi Dole ini, keturunannya menyebut diri mereka “benih yang diserahkan”. Simbol kehidupan yang terancam itu digambarkan melalui motif bercorak perahu sebagai lambang diselamatkan.
7. Hebe Wara Tada
Hebe Wara Tada agak unik dari yang lain, sebab terdapat dua bunga besar dalam satu sarung. Biasanya hanya satu motif besar untuk satu sarung. Motif ini menggambarkan kisah hidup leluhur perempuan mereka, yang ditolak, dan hendak dibunuh oleh ayahnya sendiri karena kehidupan seksualitasnya. Upaya pembunuhan sang ayah gagal, oleh karena kecerdikan si anak yakni Wara Tada, mengecoh ayahnya sebelum parang diayunkan kepadanya.
Wara Tada meloncat ke dalam laut . Di saat itulah Wara Tada ditolong oleh ikan paus (Bahasa Sabu: Lungi Rai), yang merawat luka-lukanya dan membawa dia pulang ke pantai. Pengalaman hidup dalam dua dunia, dunia manusia dan dunia laut/ikan, dikisahkan oleh Motif Wara Tada.
Motif yang bercerita tentang penderitaan karena kehidupan seksualitas, tentang kehidupan dan kematian (darat dan laut), tentang pertolongan dan kebaikan ikan paus. Motif ini bergambar ikan paus dan sayuran laut yang kemudian disebut sarung dua motif (ei due hebe).
Motif ini juga mengandung unsur ikatan perjanjian antara WaraTada sang leluhur serta seluruh keturunannya ke depan, untuk mengingat jasa ikan paus serta berjanji tak akan memakan daging ikan paus. Dan sampai sekarang keturunan Wara Tada mentaatinya sebagi pantangan. Bahkan di jaman lampau bila ada ikan paus terdampar di pantai di Sabu, mereka akan membawa sarung Motif Wara Tada, dibalut pada leher ikan paus lalu di dorong masuk kembali ke laut. Di sini kita melihat sebuah eko-feminisme dari kehidupan perempuan Sabu dan juga keturunannya.
8. Hebe Wo Rapi (Netral)
Motif sarung ini sangat bervariasi antara motif lokal dan luar seperti: bunga, burung, malaikat, daun anggur, dan seterusnya. Disebut Wo Rapi karena menampakkan berbagai variasi warna pada motifnya. Sarung dengan motif netral ini menjadi pakaian sehari-hari dan boleh dipakai oleh ke dua kelompok perempuan. Motif Wo Rapi juga dibuat untuk selimut dan dapat dipakai sehari-hari oleh laki-laki.
Klaim kepemilikan motif pakaian yang dijunjung tinggi oleh perempuan Sabu dari dua keturunan sulung dan bungsu, yakni Mudji Babo dan Lou Babo, nampaknya melahirkan kearifan baru dari kedua kelompok perempuan dalam tatanan masyarakat Sabu. Benar, tantangan melahirkan peluang baru. Pasti mereka berdiskusi bagaimana mengatasi inklusifisme tersebut agar mereka saling terbuka. Kemungkinan sebagai bentuk menemukan jalan keluarnya, mereka menciptakan motif penengah yang dikenal dengan Hebe “Wo Rapi”.
Klaim kepemilikan motif pakaian yang dijunjung tinggi oleh perempuan Sabu dari dua keturunan sulung dan bungsu, yakni Mudji Babo dan Lou Babo, nampaknya melahirkan kearifan baru dari kedua kelompok perempuan dalam tatanan masyarakat Sabu. Benar, tantangan melahirkan peluang baru. Pasti mereka berdiskusi bagaimana mengatasi inklusifisme tersebut agar mereka saling terbuka. Kemungkinan sebagai bentuk menemukan jalan keluarnya, mereka menciptakan motif penengah yang dikenal dengan Hebe “Wo Rapi”.
Melalui sejarah tutur tentang orang Sabu, asal-muasal pemisahan garis keturunan perempuan Sabu dimulai pada masa Mudji Babo dan adiknya Lou babo (generasi ke-46 dalam silsilah orang Sabu). Mereka inilah yang awal mula membuat kain tenunan Sabu.
*) Tulisan ini disesuaikan dari karya para pegiat budaya Sabu, yakni ama Vecky Adoe dan ama Efa Mita Savu II. Cerita ini tentu saja tidak bermaksud tendensius terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, segala kritik, saran dan masukan yang membangun silahkan tinggalkan di kolom komentar. Mungkin bisa di jadikan referensi awal untuk kita lebih mendalami arti dari Motif Suku Sabu.