Pehere Jara, Tarian Pedoa, Hole dan Upacara Adat Di 5 Kampung Adat Di Sabu Raijua

 pehere jara di sabu raijua


Budaya dan Upacara Adat Di Sabu Raijua: Pedoa, Hole Dan Pehere Jara

Budaya Hole Di Sabu Raijua

Budaya hole adalah upacara Pengucapan Syukur bagi orang Sabu. Pada bulan Bangaliwu diselenggarakan berbagai upacara di semua kecamatan, bulan yang kaya dalam perayaan karena menutup tahun. Ada upacara pada bulan purnama (Bui ihi, Bangaliwu) dan beberapa hari setelah bulan purnama (Hole dan Kowa Hole). Di Seba dan Menia bulan kamariah Bangaliwu bertepatan dengan bulan Paskah. Dengan demikian anjuran bagi pengunjung adalah untuk merayakan Paskah dan bisa melihat bulan purnama dan menghitung hari untuk meluncurkan upacara perahu Kowa Hole. Hole, atau upacara Pengucapan Syukur, adalah upacara yang paling penting dalam kalendar adat. Puncak dari upacara ini adalah ketika sebuah perahu kecil atau rakit, Kowa Hole, sarat dengan persembahan semua desa diluncurkan ke laut. Kemudian para imam mengawasi ritual sabung ayam yang diikuti oleh serangkaian rekreasi sabung ayam dan tarian kuda, pehere jara, bagi masyarakat. Hole berlangsung setiap tahun (lihat kalender adat).

Tarian Pedo’a Di Sabu Raijua

Tarian Ped’oa adalah sebuah tarian melingkar yang ditampilkan pada malam hari di penghujung musim hujan dan setiap malam bulan muda di bulan Bangaliwu. Tarian ini digunakan untuk memanggil para leluhur melalui doa dan mengingatkan kita untuk selalu berdoa ke Tuhan. Setiap orang dipersilahkan untuk berpartisipasi, tetapi lebih banyak pemuda-pemudi yang ikut dalam acara ini dibanding orang dewasa. Seorang pemimpin tari yang berada di tengah-tengah lingkaran akan memberi ritme selagi menyanyikan lagu-lagu ritual dan tradisional yang berkaitan dengan leluhur dan kejadian lampau. Sedangkan penari lain menyambut lagu dan ritme tersebut dalam suatu paduan suara. Sebuah tarian dapat berlangsung selama 30 menit sampai satu jam. Setiap penari memiliki wada dari anyaman yand diisi dengan kacang ijo/ yang merupakan hasil dari panen yang ditaruh menempel pada kaki. Sesuai dengan tradisi, jika biji-bijian tersebut masih utuh seusai tarian ped’oa maka biji-bijian tersebut memiliki kualitas yang bagus dan akan tetap ditanam. Acara seperti ini juga dipakai oleh anak muda untuk mencari jodoh.

Upacara Pehere Jara (Pacuan / Tarian Kuda) Di Sabu Raijua

Pacuan Kuda/Tarian Kuda (Pehere Jara) merupakan budaya/ritual yang dilakukan oleh sepasang pria dan wanita dengan menunggang kuda yang di hiasi.
Sabu memiliki jenis kuda yang spesifik; kecil akan tetapi bertubuh proporsional dan tangkas dalam memanjat jalan berbatu serta ahli dalam tarian upacara pehere jara yang ditampilkan oleh pengendara kuda di atas kudanya. Ada dua macam pehere jara: Pehere Jara sebagai tarian ritual, kuda yang dipakai harus kuda ‘keramat’. Ia harus terlahir pada saat tertentu di sebuah tahun dan memiliki warna yang spesifik. Ritual seperti ini bisa dianggap sebagai pengingat suatu kejadian tertentu di masa lalu yang berhubungan dengan sebuah suku, desa, atau wilayah. Pehere Jara ditampilkan sebagai ritual di pagi hari, di sebuah tempat upacara dengan hanya satu atau beberapa kuda keramat. Sebagai aktifitas rekreasi, Pehere Jara ditampilkan oleh siapapun di komunitas yang memiliki kuda. Penampilan ini dilakukan pada hari yang sama dengan ritual tarian kuda, di sore harinya atau seselesainya ritual tarian kuda tersebut. Acara ini diikuti oleh puluhan bahkan ratusan laki-laki yang mengendarai kuda mereka dan ditonton oleh ratusan penonton yang bergembira.

Pehere Jara

Pehere Jara adalah bagian dari upacara D’ab’a (bulan D’ab’a) dan Hole (bulan Bangaliwu). Di pagi hari para pria dengan berkendaraan kuda keramat mengelilingi sebuah tempat keramat atau sebuah pohon keramat dalam aturan tertentu. Di siang dan sore hari, Pehere Jara mampu menarik perhatian ratusan orang untuk melihat. Para pengendara kuda mendemonstrasikan kemampuan berkuda mereka melalui langkah-langkah kuda yang tertata unik, sehingga menarik perhatian anak-anak untuk mengantri. Pehere Jara yang ditampilkan di Bodo merupakan pengingat akan serbuan hama belalang yang terjadi beberapa abad silam. Guna mengusir hama belalang dari pengerusakan hasil panen mereka, para pria kala itu menunggangi kuda yang dipasangi sabuk mengelilingi leher dan kaki mereka. Lalu mereka berputar mengelilingi ladang sampai akhirnya belalang-belalang itu pergi. Hasil panen dapat diselamatkan dan semenjak itu Pehere Jara di Bodo diadakan setiap tahun di bulan Pebuari guna mencegah datangnya kembali hama belalang. Tentu saja Sabu dan kepulauan lainnya bukanlah daerah yang terserang wabah belalang.

Lima Kampung Adat di Lima Wilayah Adat di Sabu Raijua

Sebuah desa asli atau rae kepue yang dipagari (atau pernah dipagari), yang didalamnya terdapat sejumlah rumah bertipe èmu rukoko, yaitu sebuah tempat ibadah dan batu-batu keramat. Pada mulanya, pagar-pagar pembatas desa ini terbuat dari tangkai tanaman sorgum, atau dari tangkai berduri pohon siwalan yang pada akhirnya diganti dengan dinding batu. Desa-desa yang telah dibatasi oleh dinding batu, dibentuk pada masa penjajahan.

1. Wilayah Adat Hawu Dimu atau Sabu Timur

Hurati: tempat yang terbentengi. Berdasarkan legenda, tempat yang terbentengi ini dibangun dalam satu malam. Menurut ingatan penduduk, ada yang mengatakan Hurati berarti ‘Surat’ (yaitu nama sebuah kota di India) dan juga ada yang mengatakan ‘Surat’ yang bermakna ‘Injil’ (makna ini ada sejak Hurati dibangun pada zaman Portugis di abad 16). Tiga tembok dibangun mengelilingi tempat ini dan terdapat gerbang yang salah satu gerbangnya dibangun dalam bentuk zig-zag. Pada tahun 1676 Hurati menolak penjajahan VOC Belanda. Desain bangunan ini menunjukkan pengaruh asing termasuk bangsa Eropa yang menjajah Hurati.
Kujiratu: desa bertembok, yang didirikan pada abad ke 17 (awal zaman VOC). Desa ini dipelihara dengan baik, memiliki sejumlah rumah tradisional, dan batu-batu keramat serta sebuah pohon keramat.
Ba, penduduk keturunan para raja Dimu selama masa penjajahan Belanda. Terdapat banyak kuburan dan bangkai meriam.

2. Wilayah Adat Liae 

Dalam ingatan kolektif, Liae memiliki pemukim tertua di Sabu.
Teriwu: tempat paling keramat di Sabu dan digunakan sebagai tempat ritual suku ini. Teriwu merupakan wilayah politik mandiri yang banyak dicontoh oleh wilayah lain (Seba, Mesara, Liae) sebelum kedatangan bangsa Eropa dan merupakan pusat keagamaan paling kuno untuk keseluruhan pulau. Sekarang, tidak ada lagi anggota keagamaan leluhur yang bertempat tinggal disini dan rumah para leluhur serta tempat ritual membutuhkan perbaikan (tempat ini selalu sulit untuk diakses karena begitu keramatnya). Petugas yang berwenang dalam pariwisata harus bernegosiasi mengenai hal ini dengan penduduk setempat. Di Teriwu seseorang bisa melihat laut dalam berbagai penjuru, maka dapat dikatakan tempat ini benar-benar strategis.

Ege dan Daba: tempat dimana penduduk dari keturunan raja Liae tinggal semasa zaman penjajahan Belanda. Banyak kuburan dari masa penjajahan di Ege.
Kolorame: berada diatas sebuah bukit. Tempat di mana diadakan ritual adu ayam dua kali dalam setahun dalam bulan D’ab’a dan Bangaliwu. Di bawah bukit, Raewiu, didirikan oleh Lobo Dahi (juga dikenal sebagai Nida Dahi), yang dianggap sebagai raja pertama Liae pada zaman Portugis.

Ledetalo: Tempat ini dahulu dinamai ulang menjadi Kotahawu di abad ke 18 (berasal dari ejekan dan analogi Kota Kupang). Tempat ini memiliki rumah besar asli, èmu kepue’, yang baru-baru ini dibangun ulang. Hanya beberapa tahun yang lalu, nama tempat ini kembali menjadi nama sebelumnya, Ledetalo.

3. Wilayah Adat Hawu Mehara Sabu Mesara

Mesara Atas atau Mehara D’ida.
Di Mesara, para leluhur adalah keturunan Ie Miha yang membangun kehidupan di Pedèro (ejaan lama Pedarro). Di atas puncak bukit terdapat Kolorae (lihat galeri foto) yang memiliki posisi strategis menghadap ke laut. Disana terdapat rumah ritual Pemimpin tertinggi Mone Ama, Deo Rai. Rae Pedèro, berada di bawah bukit, daerah ini terdapat rumah ibadah milik Rue (berkedudukan kedua tertinggi diantara anggota Mone Ama Mesara) dan arena upacara keagamaan, Nada Hari (arena untuk semua; milik masyarakat). Dahulu, rumah-rumah asli (èmu kepue) milik suku-suku Mesara ini pernah berdiri disana.

Desa Ledetadu dibangun oleh leluhur Koro Dimu pada tahun 1760an. Dialah putra pertama Dimu Kore, seorang raja Mesara yang namanya ditulis di perjanjian Paravicini tahun 1756. Ledetadu seringkali dikunjungi turis yang ingin melihat-lihat rumah tradisional, pengrajin tenun tradisional dan pengrajin warna alam.
Mesara Bawah atau Mehara Wawa.


Penduduk di Mesara Bawah adalah keturunan leluhur D’ida Miha dan yang membangun masyarakat di Tanajawa, Molie dan Lobohede. Penduduk di Lobohede meluncurkan kapal upacaranya, Kowa Hole, di hari yang sama dengan orang Mesara Atas. Akan tetapi di tepian pantai yang berbeda. Setelah peluncuran, ritual adu ayam diadakan di antara Mesara Atas dan Mesara Bawah. Ritual adu ayam dipercaya sebagai pengganti perang antar suku.
Leluhur Dima Riwu dari Lobohede menjadi terkenal dalam sejarah lokal karena pernikahannya yang menyebabkan perang antara Seba dan Menia. Kejadian ini dikenang dalam sebuah cerita dan sebuah lagu. Sisa-sisa rumah tempat leluhur Dima Riwu berasal dapat dilihat di Lobohede. Lobohede saat ini lebih dikenal akan pertanian rumput lautnya.
Lederaga di ujung barat Sabu merupakan desa bertembok yang memiliki batu-batu keramat yang dahulu dipersiapkan oleh para keturunan Jèka Wai (seseorang yang mungkin berasal dari Raijua). Perahu upacara untuk leluhur Jèka Wai diluncurkan 8 hari setelah bulan purnama di bulan Bangalivu (lihat upacara Hole).

4. Wilayah Adat Hab'ba Atau Sabu Seba (Sabu Barat)

Namata merupakan pemukiman utama keturunan Ie Miha di Seba. Tempat ritual yang diperuntukkan untuk seluruh wilayah Seba ini memiliki megalitik-megalitik besar. Namata sebenarnya adalah nama tinggal leluhur Mone Ama (Deo Rai atau ‘Tuan Tanah’, Maukia atau ‘Pendoa Perang’, Apu Lod’o atau ‘Keturunan Anak Matahari’).
Rae Bodo: penduduk fetor (atau wakil raja) Seba. Hanya ada satu atau dua rumah yang tersisa; memiliki batu keramat ‘Bèni Ae’ atau ‘Leluhur Hebat’; terdapat gedung kecil untuk menyimpan gong ritual dan pohon nitas besar (sterculia foetida). Bodo merupakan situs seremonial tarian kuda, Pehere Jara, yang diadakan pada bulan Pebruary. Setelah kuda-kuda taboo mengelilingi pohon keramat sebanyak sembilan kali di kedua penjuru, akan ada hiburan tarian kuda untuk masyarakat umum di luar desa.
Menia: Menia kehilangan sebagian dari daratannya dikarenakan peperangan (cerita ini berhubungan dengan cerita Dima Riwu, lihat di atas). Akan tetapi, desa ini tetap mandiri dalam masalah keagamaan dan memiliki Mone Ama. Perayaan Kowa Hole diadakan 10 hari setelah bulan purnama di bulan Bangaliwu.

5. Wilayah Adat Raijua:

Bèlu, desa bertembok, memiliki sejumlah rumah leluhur; salah satu rumah tersebut terdapat ‘jaket’ (prajurit?) yang terbuat dari tenunan serat dan dikenal milik leluhur terkenal bernama Maja (nama yang mungkin terkait dengan kerajaan Majapahit).
Ketita, tempat terkeramat di Raijua dan tempat tinggal pemimpin Mone Ama, biasanya tidak dibuka untuk turis.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel