Makna Motif Sarung Sabu dan Awal Terbentuknya Hubi Ae dan Hubi Iki di Kalangan Wanita Suku Sabu (bagian 1)
Makna Dibalik Motif Sarung Sabu adalah kisah tentang pengalaman pribadi, keluarga, dan kelompok (dibaca: marga), bahkan masyarakat dan lingkungan bagi orang sabu terutama wanita sabu.
Motif kain tenun Sabu adalah hasil kerajinan dari wanita sabu sejak turun temurun berupa kain yang terbuat dari benang yang ditenun, didalamnya terdapat gambar secara keseluruhan dengan pola-pola atau bentuk-bentuk benda dengan gaya dan irama yang khas dari sabu Raijua.
Makna motif atau arti dari tenunan sarung sabu menuliskan kisah hidup wanita sabu yang terjadi sejak turun temurun. Makna Motif Sarung Sabu dari Perempuan suku Sabu menulis kisah tentang pengalaman pribadi, keluarga, dan kelompok (dibaca: marga), bahkan masyarakat dan lingkungan mereka, dalam motif-motif tenun ikat. Tenun ikat suku ada dua bentuk, Sarung untuk wanita dan Selimut untuk kaum pria.
Arti Di Balik Hebe (Motif) Tenun Ikat Suku Sabu: Perempuan Sabu Menulis Kisah Melalui Tenunan
Umumnya, menulis dikenal sebagai keterampilan yang hanya menggunakan kertas dan tinta. Melalui tulisan, manusia mengekspresikan ide dan gagasan, bahkan saran dan kritik dalam berbagai wujud dan bentuk. Namun, Perempuan suku Sabu menulis kisah tentang pengalaman pribadi, keluarga, dan kelompok (dibaca: marga), bahkan masyarakat dan lingkungan mereka, dalam motif-motif tenun ikat. Tenun ikat suku ada dua bentuk, Sarung untuk wanita dan Selimut untuk kaum pria.
Hebe (Motif) Tenun Ikat Manjadi Simbol Sejarah Wanita Suku Sabu
Motif tenunan menjadi simbol sejarah perempuan Sabu yang berisi banyak cerita tentang tuturan pengalamannya. Cerita itu antara lain tentang anak sulung dan anak bungsu yang pertama kalinya melahirkan motif dengan sifat-sifatnya masing-masing. Termasuk juga kehidupan seksual, cara dan pandangan hidup, serta spirit hidup mereka. Motif itu itu juga bercerita tentang hubungan masyarakat dengan lingkungan. Salah satunya, tercermin dalam motif daun asam, sayur laut, warna tanah, gambar binatang, pangan, rumah dan lain-lain.
BACA JUGA:
Oleh sebab itu, penempatan warna dan motif juga merupakan dokumentasi sejarah yang diwariskan sampai generasi berikut melalui pengajaran perempuan kepada keturunan mereka. Dalam kehidupan masyarakat Sabu, pengajaran itu diwariskan dengan tiga cara. Pertama, pada saat kematian seorang perempuan, perempuan tua yang memiliki pengetahuan mengenai motif tenun akan menceritakan sejarah dan makna motifnya. Cara kedua adalah selama proses menenun. Dalam proses ini, guru pertama bisa jadi seorang ibu. Mereka mengajar anak-anak perempuan bagaimana cara menenun, termasuk pilihan dan penempatan warna dan ukuran motif, sekaligus sejarah dan makna motif itu. Cara ketiga adalah masing-masing orang sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mereka mencoba untuk belajar menangkap makna dari motif tenunan itu sendiri.
BACA JUGA:
Pemisahan Garis Keturunan Perempuan di Sabu Oleh Mudji Babo dan Lou Babo
Masyarakat Sabu mengenal genealogisnya menurut garis keturunan ibu dan ayah. Garis keturunan ayah disebut Udu (Klan) sementara garis keturunan ibu disebut Hubi (mayang).
Pulau Sabu awalnya dibagi dalam lima wilayah pemerintahan adat. Secara kebiasaan adat, Klan laki-laki (biasanya) menguasai wilayah adat tertentu. Sedangkan perempuan dapat melintasi batas wilayah karena kawin-mawin antar wilayah adat. Sebab itu, motif-motif tenunan (yang dikerjakan oleh perempuan) tersebar di seluruh wilayah adat Sabu. Artinya, motif itu tidak terbatas pada wilayah tertentu saja.
BACA JUGA:
Melalui sejarah tutur tentang orang Sabu, asal-muasal pemisahan garis keturunan perempuan Sabu dimulai pada masa Mudji Babo dan adiknya Lou babo (generasi ke-46 dalam silsilah orang Sabu). Mereka inilah yang awal mula membuat kain tenunan Sabu.
Menurut cerita, Mudji Babo dikenal sebagai anak perempuan yang rajin bekerja dan menenun. Sementara adiknya Lou Babo, tumbuh menjadi anak yang agak manja. Terkadang Mudji cermburu terhadap adiknya yang dimanja oleh orang tua mereka. Lou Babo hanya bisa mengumpulkan biji kapas dalam wadah-wadah anyaman. Karena sering menenun, Mudji Babo acapkali pamer hasil karyanya dan mengejek-ejek Lou Babo sebagai orang yang tidak bisa menghasilkan apapun. Karena Lou marah dihina terus oleh kakaknya, maka terjadilah pertikaian diantara keduanya.
Sebab perselisihan itu, orang tua mereka membagi peralatan tenun. Sejak itu, Mudji dan Lou sepakat untuk membagi peralatan tenunan. Pembagian itu dilakukan secara simbolis dengan pembagian Sari Nila yang biasanya digunakan sebagai pewarna benang tenun ikat. Sari nila itu diambil dari satu periuk, kemudian dibagi untuk Mudji dan Lou.
BACA JUGA:
Mudji sebagai kakak menimba Sari nila bagian atas dan lebih banyak dari dalam periuk itu sebab lebih banyak itu dianggap lebih baik. Sedangkan Sari nila sisa dalam periuk adalah milik adiknya Lou Babo. Namun, ada hal yang tidak disadari oleh Mudji Babo, bahwa air nila sisa yang ada di bawah periuk adalah yang paling bermutu. Artinya, Lou Babo diuntungkan dari sikap Mudji Babo.
Awal Mula Terbentuknya "Hubi Ae" dan "Hubi Iki" di Kalangan Wanita Suku Sabu
Dan inilah awal mulanya yang menjadi dasar pembagian motif, sekaligus pembagian 'mayang atau hubi' di kalangan perempuan suku Sabu. Lebih lanjut dituturkan, karena Mudji Babo mengambil sari nila lebih banyak, maka dia beserta keturunannya disebut sebagai pemilik motif mayang besar atau Hubi Ae. Sementara Lou Babo, karena memperoleh sari nila lebih sedikit, maka seluruh keturunannya disebut sebagai pemilik motif mayang kecil atau Hubi Iki. Inilah awal mula pembagian genealogis perempuan suku Sabu, dengan simbol motif sarung tenun ikat.
Tradisi kepemilikan motif secara geneologis, tampak pada peristiwa pernikahan dan kematian di Sabu pada masa lalu dan masih terus dipelihara hingga kini. Seorang perempuan dari mayang besar atau Hubi Ae dan mayang kecil atau Hubi Iki. Saat meninggal dunia, akan dipakaikan sarung dengan motif menurut asal genealogisnya masing-masing.
Namun, dalam perkembangannya, motif-motif tenun ikat di Sabu, ada yang diberi nama sesuai nama tokoh perempuan Sabu yang dihormati oleh pembuatnya. Misalnya, Motif Pudilla: nama yang terkait peristiwa sejarah tertentu. Motif Piri Ga Lena, atau nama lingkungan alam.
BACA JUGA:
Jenis-jenis dan Makna di Balik Hebe (Motif) Tenunan Sabu Berdasarkan Hubi dan Cerita di Baliknya
Berikut ini coba ditelusuri sekilas beberapa motif buatan keturunan Mudji Babo dan Lou Babo dan keturunan serta cerita di baliknya.- Hebe "Hubi Ae" Keturunan Mudji Babo
Mudji Babo dan keturunannya menulis kisah hidup mereka melalui sarung yang biasa disebut "Ei Radja" (sarung pukul), Hubi Ae atau sarung mayang besar. Berikut ini Motif–motif yang diciptakan dan dimiliki oleh keturunan Mudji Babo.
1. HEBE PUDILLA
Bentuk Motif Puddila terdiri dari dua pucuk rebung, gagang 'haik' (haik: wadah minuman dari daun lontar), dan sebuah motif kecil di dalam motif besar. "Pudilla" terdiri dari dua kata dasar dalam bahasa Sabu: "Appu" artinya nenek dan "Dilla" artinya cucu. Jadi Puddila dapat diartikan "Nenek dari Dilla". Dilla diambil dari nama Dilla Robo. Peringatan akan Dilla Robo dengan kehidupannya yang poliandri serta melakukan incest itu ditulis melalui Motif Pudilla atau dapat dikatakan sebagai motif Nenek Dilla.Motif ini mempunyai pesan dan harapan kurang lebih: dua pucuk rebung adalah peringatan agar anak-anak cucu tidak mengikuti cara hidup Nenek Dilla yang poliandri dan incest; gagang haik adalah ajakan untuk berpegang pada adat istiadat dan nilai-nilai luhur para leluhur; dan bunga kecil merupakan harapan agar generasi selanjutnya dari nenek Dilla menjadi orang-orang terpandang.
BACA JUGA:
Sekilas Tentang Dilla Robo:
Lokus cerita tentang Dilla Robo diyakini terjadi di wilayah adat Habba (Seba saat ini). Kuburan Dilla Robo dipercayai berada di salah satu kampung (Rae) Do Kekoro.
Dilla dikisahkan sebagai tokoh legenda yang diberi nama lain sebagai nama pelindung dan pemberi kekuatan sesuai tradisi Sabu (ngara 'bhani) yaitu Mare Ga. Dia merupakan cucu perempuan semata wayang dari Mudji Babo dan pasangannya Robo Aba. Dilla diyakini sebagai seorang perempuan yang sangat cantik dan hidup poliandri di setiap wilayah adat di Sabu, termasuk kemudian (menurut cerita) kawin dengan saudara laki-lakinya sendiri. Dilla dituturkan memiliki kekuatan rahasia yang mempesona, bahkan sulit untuk mengenal kepribadianya.
Suatu ketika, Dilla menuju ke wilayah adat Dimu (Sabu Timur: bagian timur Pulau Sabu) untuk kawin lagi. Saat itu, tiba-tiba turun hujan lebat. Karena itu, banyak orang saat itu menafsirkan sebagai tanda alam tidak merestui, maka masyarakat memukul lesung-lesung sehingga orang bangun untuk menyelamatkan diri dengan melakukan ritual adat. Tetapi tragis, Dilla meninggal. Lesung lalu disimbolkan sebagai tubuh Dilla alias Mare Ga.
2. HEBE ROBO
Motif Robo berbentuk segi empat. Motif sarung ini bermakna sebagai senjata pelindung dalam perjalanan. seperti peristiwa pernikahan di mana suami isteri akan keluar dari keluarga masing-masing menuju rumah tangga baru. Juga saat kematian, motif ini bermakna sebagai "pelindung" selama perjalanan kembali ke dalam persekutuan para leluhur. Motif robo dipercayai sebagai motif pusaka dalam genealogi Dilla Robo.
3. HEBE D'ULLA
Du'lla adalah wadah yang dibuat dari dahan pohon pinang dan campuran tanah liat yang berfungsi sebagai tempat merendam akar-akar pohon (obat tradisional) untuk memandikan bayi yang baru lahir. Wadah tersebut juga dipakai sebagai tempat air untuk ritus pemandian anak-anak secara adat (d’abba). Pengalaman pemeliharaan bayi, manfaat pohon pinang dan tanah liat bagi keluarga-keluarga dan masyarakat saat itu, serta ritus pengesahan anak-anak menjadi warga adat yang syah melalui ritus d’abba diceritakan melalui motif ini.
Motif D'ulla dilestarikan sebagai motif selimut asli bagi laki-laki. Dalam bahasa Sabu disebut Hi’ji / Hi'gi yang berfungsi sebagai motif dalam pakaian jabatan pimpinan adat. Selain itu, juga untuk upacar pernikahan, dan kematian, serta pakaian harian. Mengapa Motif D’ulla dikhususkan untuk selimut laki-laki belum diketahui secara pasti. Memang Motif Du’lla juga ada pada sarung perempuan. Laki-laki tidak memiliki motif khusus seperti pada perempuan.
Motif D'ulla dilestarikan sebagai motif selimut asli bagi laki-laki. Dalam bahasa Sabu disebut Hi’ji / Hi'gi yang berfungsi sebagai motif dalam pakaian jabatan pimpinan adat. Selain itu, juga untuk upacar pernikahan, dan kematian, serta pakaian harian. Mengapa Motif D’ulla dikhususkan untuk selimut laki-laki belum diketahui secara pasti. Memang Motif Du’lla juga ada pada sarung perempuan. Laki-laki tidak memiliki motif khusus seperti pada perempuan.
4. HEBE KOBE MORENA
Motif ini berkisah tentang sejarah hidup perempuan bernama Dilla Tede. Sejarah hidup ini menjadi sumber inspirasi bagi Dilla Tede dengan menciptakan sebuah motif yang diberi nama Kobe Morena. Motif ini menjadi buku sejarah tentang misi Dilla Tede ke Kota Ga dan hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari Dilla Tede.
Dilla Tede dikisahkan menikah dengan tukang perahu namanya Radja Bangngu. Dilla Tede pada suatu hari berangkat ke Kota Ga (menurut beberapa sumber, letaknya di sekitar Pulau Solor) dengan perahu yang diberi nama Kowa Deo. Tiba di Kota Ga, Dilla Tede menghadap raja dan memperkenalkan dirinya dengan nama Ga Lena (seorang putri dari Kerajaan Ga) lewat ungkapan syair kuno : "Ga Lena Uli Wo Helaggi Horo Made De Waru (yang kurang lebih artinya: putri Raja Ga yang datang dari negeri bulan penuh lingkaran cahaya)".
Dia melaporkan tentang bencana perang yang terjadi di negerinya dengan menunjukkan tulang-tulang kuda sebagai tulang manusia. Raja peduli dan memberi dukungan kepadanya. Dilla Tede diberi hadiah sebuah kotak pusaka. Usai percakapan dengan sang raja di Kota Ga, ia kembali ke Sabu dengan dukungan perlengkapan perang berupa tujuh buah kapal, satu bendera, serta senjata lainnya. Setibanya di Sabu, Dilla Tede kemudian mengibarkan bendera tersebut di tengah Klan Nahoro di Liae; sampai sekarang tempat itu dinamai kibar bendera (halla padji).
5. HEBE PIRI GA LENA
Motif ini berbentuk piring. Kemungkinan piring yang dibawa oleh Dilla Tede dari negeri seberang dijadikan inspirasi untuk motif piring bagi anak cucunya, yang dalam bahasa daerah diungkapkan sebagai Motif Piri. Dila Tede, alias Ga Lena, dikenang sebagai perempuan yang bercahaya seperti Bani Weo (gambaran untuk bulan di mana dalam pandangan seolah-olah ada nenek yang memintal benang, sesuai beberapa cerita rakyat yang berkembang). Dan seperti itulah Dilla Tede digambarkan oleh anak cucunya. Untuk mengenang tokoh legenda Dilla Tede sebagai tokoh 'terang bercahaya'. Anak cucu Dilla Tede menciptakan motif baru yang disebut Motif Piri Ga Lena (piringnya Ga Lena, alias Dilla Tede).
6. HEBE KOBE MOLA'I
Di wilayah Mehara (Mesara), bagian barat pulau Sabu, ada motif lain yang juga mengenang Dilla Tede, disebut Motif Kobe Mola'i yang terdiri dari ranting-ranting hijau. Jadi sejarah hidup tokoh Dilla Tede diceritakan dalam tiga buah motif, yakni Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan Motif Kobe Mola'i.
7. HEBE KAE HOGE
Motif ini berupa dua ekor burung yang sedang berdiri pada sebuah wadah dengan papan dan berdiri tegak punggungnya. Dahulu kala ada dua perempuan bersaudara namun berbeda ayah, yakni Pi’i Rebo dan Dilla Jingi. Ibu mereka berenama Wanynyi Daku. Ia menikah dengan ayah Pi’i, yakni Rebo Tari. Setelah Rebo Tari meninggal, ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki bernama Jingi Tari. Dari perkawinan itu lahirlah Dilla Jingi yang kemudian melahirkan anak perempuan lagi, bernama Meko. Guna Mengenang asal usul mereka dari satu leluhur, maka diciptakan sebuah motif yang disebut Hebe Kae Hoge.
8. HEBE TUTU
Hebe Tutu berbentuk ayam dan cermin. Hebe Tutu menceritakan tentang tokoh perempuan Dina Riwu yang berasal dari Mehara. (kecamatan Mesara). Ceritanya, Dina akan menikah dengan Jami Lobo di Hab'ba (Seba), namun karena sakit, pernikahannya ditunda. Setelah sembuh, Dina tidak menikah lagi dengan Jami Lobo, tetapi menikah dengan seorang fetor dari Menia bernama Tero Weo. Mendengar hal itu, Jami Lobo membuat festival tarian ( tarian Ledo). Di acara itu, Jami Lobo bertemu dengan Dina. Hal ini menimbulkan bentrokan kecil. Sindiran tentang kelakuan Jami Lobo terhadap Dina ditulis dalam Hebe Tutu yang berupa ayam dan cermin.
9. HEBE WO KELAKKU KAJI RU HELAGI
Motif ini berkisah tentang manfaat daun asam (Ru Helagi) sebagai rempah-rempah dan jamu. Daun asam digunakan oleh perempuan Sabu sebagai bahan perawatan tubuh dan kecantikan. Motif ini tidak diketahui siapa yang menciptakannya, tetapi masih dalam lingkungan mayang Mudji Babo (Hubi Ae: mayang besar).
10. HEBE WO KELAKKU KEWARE WA
Motif ini mirip dengan motif Ru Helagi kecuali simpul motifnya yang berbeda.
11. HEBE KAE KUHI
Motif ini berupa mata kunci yang saling bergandengan. Ini merupakan peringatan bahwa setiap orang tidak bisa memasuki rumah yang terkunci tanpa kuncinya. Apakah motif ini dapat diduga sebagai catatan tentang perkenalan/pertemuan masyarakat Sabu dengan teknologi kunci, bisa ditelusuri lebih lanjut.
12. HEBE WO KELAKKU WO PUDI
HEBE WO KELAKKU WO PUDI berbentuk daun-daun yang bergantungan. Hebe ini juga belum diketahui penciptanya dan makna dari simbol daun ini.
*) Tulisan ini disesuaikan dari karya para pegiat budaya Sabu, yakni ama Vecky Adoe dan ama Efa Mita Savu II. Cerita ini tentu saja tidak bermaksud tendensius terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, segala kritik, saran dan masukan yang membangun silahkan tinggalkan di kolom komentar. Mungkin bisa di jadikan referensi awal untuk kita lebih mendalami arti dari Motif Suku Sabu.