Ini Sejarah Lima Kampung Adat Di Sabu Raijua

 

kampung adat namata di sabu raijua
Kampung Adat Namata

Lima Kampung Adat di Lima Wilayah Adat di Sabu Raijua

Sebuah desa asli atau rae kepue yang dipagari (atau pernah dipagari), yang didalamnya terdapat sejumlah rumah bertipe èmu rukoko, yaitu sebuah tempat ibadah dan batu-batu keramat. Pada mulanya, pagar-pagar pembatas desa ini terbuat dari tangkai tanaman sorgum, atau dari tangkai berduri pohon siwalan yang pada akhirnya diganti dengan dinding batu. Desa-desa yang telah dibatasi oleh dinding batu, dibentuk pada masa penjajahan.

1. Wilayah Adat Hawu Dimu atau Sabu Timur

Hurati: tempat yang terbentengi. Berdasarkan legenda, tempat yang terbentengi ini dibangun dalam satu malam. Menurut ingatan penduduk, ada yang mengatakan Hurati berarti ‘Surat’ (yaitu nama sebuah kota di India) dan juga ada yang mengatakan ‘Surat’ yang bermakna ‘Injil’ (makna ini ada sejak Hurati dibangun pada zaman Portugis di abad 16). Tiga tembok dibangun mengelilingi tempat ini dan terdapat gerbang yang salah satu gerbangnya dibangun dalam bentuk zig-zag. Pada tahun 1676 Hurati menolak penjajahan VOC Belanda. Desain bangunan ini menunjukkan pengaruh asing termasuk bangsa Eropa yang menjajah Hurati.
Kujiratu: desa bertembok, yang didirikan pada abad ke 17 (awal zaman VOC). Desa ini dipelihara dengan baik, memiliki sejumlah rumah tradisional, dan batu-batu keramat serta sebuah pohon keramat.
Ba, penduduk keturunan para raja Dimu selama masa penjajahan Belanda. Terdapat banyak kuburan dan bangkai meriam.

2. Wilayah Adat Liae 

Dalam ingatan kolektif, Liae memiliki pemukim tertua di Sabu.
Teriwu: tempat paling keramat di Sabu dan digunakan sebagai tempat ritual suku ini. Teriwu merupakan wilayah politik mandiri yang banyak dicontoh oleh wilayah lain (Seba, Mesara, Liae) sebelum kedatangan bangsa Eropa dan merupakan pusat keagamaan paling kuno untuk keseluruhan pulau. Sekarang, tidak ada lagi anggota keagamaan leluhur yang bertempat tinggal disini dan rumah para leluhur serta tempat ritual membutuhkan perbaikan (tempat ini selalu sulit untuk diakses karena begitu keramatnya). Petugas yang berwenang dalam pariwisata harus bernegosiasi mengenai hal ini dengan penduduk setempat. Di Teriwu seseorang bisa melihat laut dalam berbagai penjuru, maka dapat dikatakan tempat ini benar-benar strategis.

Ege dan Daba: tempat dimana penduduk dari keturunan raja Liae tinggal semasa zaman penjajahan Belanda. Banyak kuburan dari masa penjajahan di Ege.
Kolorame: berada diatas sebuah bukit. Tempat di mana diadakan ritual adu ayam dua kali dalam setahun dalam bulan D’ab’a dan Bangaliwu. Di bawah bukit, Raewiu, didirikan oleh Lobo Dahi (juga dikenal sebagai Nida Dahi), yang dianggap sebagai raja pertama Liae pada zaman Portugis.

Ledetalo: Tempat ini dahulu dinamai ulang menjadi Kotahawu di abad ke 18 (berasal dari ejekan dan analogi Kota Kupang). Tempat ini memiliki rumah besar asli, èmu kepue’, yang baru-baru ini dibangun ulang. Hanya beberapa tahun yang lalu, nama tempat ini kembali menjadi nama sebelumnya, Ledetalo.

3. Wilayah Adat Hawu Mehara Sabu Mesara

Mesara Atas atau Mehara D’ida.
Di Mesara, para leluhur adalah keturunan Ie Miha yang membangun kehidupan di Pedèro (ejaan lama Pedarro). Di atas puncak bukit terdapat Kolorae (lihat galeri foto) yang memiliki posisi strategis menghadap ke laut. Disana terdapat rumah ritual Pemimpin tertinggi Mone Ama, Deo Rai. Rae Pedèro, berada di bawah bukit, daerah ini terdapat rumah ibadah milik Rue (berkedudukan kedua tertinggi diantara anggota Mone Ama Mesara) dan arena upacara keagamaan, Nada Hari (arena untuk semua; milik masyarakat). Dahulu, rumah-rumah asli (èmu kepue) milik suku-suku Mesara ini pernah berdiri disana.

Desa Ledetadu dibangun oleh leluhur Koro Dimu pada tahun 1760an. Dialah putra pertama Dimu Kore, seorang raja Mesara yang namanya ditulis di perjanjian Paravicini tahun 1756. Ledetadu seringkali dikunjungi turis yang ingin melihat-lihat rumah tradisional, pengrajin tenun tradisional dan pengrajin warna alam.
Mesara Bawah atau Mehara Wawa.


Penduduk di Mesara Bawah adalah keturunan leluhur D’ida Miha dan yang membangun masyarakat di Tanajawa, Molie dan Lobohede. Penduduk di Lobohede meluncurkan kapal upacaranya, Kowa Hole, di hari yang sama dengan orang Mesara Atas. Akan tetapi di tepian pantai yang berbeda. Setelah peluncuran, ritual adu ayam diadakan di antara Mesara Atas dan Mesara Bawah. Ritual adu ayam dipercaya sebagai pengganti perang antar suku.
Leluhur Dima Riwu dari Lobohede menjadi terkenal dalam sejarah lokal karena pernikahannya yang menyebabkan perang antara Seba dan Menia. Kejadian ini dikenang dalam sebuah cerita dan sebuah lagu. Sisa-sisa rumah tempat leluhur Dima Riwu berasal dapat dilihat di Lobohede. Lobohede saat ini lebih dikenal akan pertanian rumput lautnya.
Lederaga di ujung barat Sabu merupakan desa bertembok yang memiliki batu-batu keramat yang dahulu dipersiapkan oleh para keturunan Jèka Wai (seseorang yang mungkin berasal dari Raijua). Perahu upacara untuk leluhur Jèka Wai diluncurkan 8 hari setelah bulan purnama di bulan Bangalivu (lihat upacara Hole).

4. Wilayah Adat Hab'ba Atau Sabu Seba (Sabu Barat)

Kampung Adat Namata merupakan pemukiman utama keturunan Ie Miha di Seba. Tempat ritual yang diperuntukkan untuk seluruh wilayah Seba ini memiliki megalitik-megalitik besar. Namata sebenarnya adalah nama tinggal leluhur Mone Ama (Deo Rai atau ‘Tuan Tanah’, Maukia atau ‘Pendoa Perang’, Apu Lod’o atau ‘Keturunan Anak Matahari’).
Rae Bodo: penduduk fetor (atau wakil raja) Seba. Hanya ada satu atau dua rumah yang tersisa; memiliki batu keramat ‘Bèni Ae’ atau ‘Leluhur Hebat’; terdapat gedung kecil untuk menyimpan gong ritual dan pohon nitas besar (sterculia foetida). Bodo merupakan situs seremonial tarian kuda, Pehere Jara, yang diadakan pada bulan Pebruary. Setelah kuda-kuda taboo mengelilingi pohon keramat sebanyak sembilan kali di kedua penjuru, akan ada hiburan tarian kuda untuk masyarakat umum di luar desa.
Menia: Menia kehilangan sebagian dari daratannya dikarenakan peperangan (cerita ini berhubungan dengan cerita Dima Riwu, lihat di atas). Akan tetapi, desa ini tetap mandiri dalam masalah keagamaan dan memiliki Mone Ama. Perayaan Kowa Hole diadakan 10 hari setelah bulan purnama di bulan Bangaliwu.

5. Wilayah Adat Raijua:

Nadega, desa bertembok, memiliki sejumlah rumah leluhur; salah satu rumah tersebut terdapat ‘jaket’ (prajurit?) yang terbuat dari tenunan serat dan dikenal milik leluhur terkenal bernama Maja (nama yang mungkin terkait dengan kerajaan Majapahit).
Ketita, tempat terkeramat di Raijua dan tempat tinggal pemimpin Mone Ama, biasanya tidak dibuka untuk turis.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel