Gerakkan Reformasi Menuju Demokrasi: Prinsip-prinsip Negara Demokrasi Menurut Para Ahli
Gerakkan Reformasi Menuju Demokrasi
Gerakan reformasi Indonesia yang dipelopori oleh para mahasiswa pada tahun 1998 yang sekaligus mampu meruntuhkan rezim Orde Baru (rezim Suharto) telah mengukir sejarah baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hingga kini. Gerakkan ini pecah akibat mulai munculnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Seiring dengan itu, kerinduan akan kehidupan yang demokrasi pun timbul sebagai penolakan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang, bertindak otoriter, tidak menghargai harkat dan martabat manusia, menginjak-injak hak asasi manunsia dan pengambilan keputusan berdasarkan keputusan kolektif sepihak. Gerakkan itu tidak dapat dipisahkan juga dengan arus globalisasi yang mengusung nilai-nilai universal dan mendunia serta berlangsung secara universal dan dalam waktu yang cukup singkat dan juga telah membawa perubahan dalam system social, budaya, ekonomi, politik, pemerintahan, dsb. Kondisi ini juga di satu sisi berpotensi membawa perubahan yang positif bagi bangsa ini tapi di sisi lain keadaan ini telah membawa kehancuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana nilai-nilai social dalam masyarakat menjadi kabur dan banyak pihak yang bertindak diluar kewajaran dengan mengatasnamakan demokrasi. Keluar dari pemerintahan yang otoriter dan memasuki era demokrasi menimbulkan tuntutan yang sangat kuat pada perubahan struktur dan kultur. Di antara tuntutan perubahan itu adalah desentralisasi pemerintahan yang lebih luas dan birokrat yang berkompoten.
Apa Itu Demokrasi
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, maka Indonesia telah memasuki era baru yaitu dalam tahap demokrasi transisi. Dari banyak kajian para ahli tersimpul bahwa, terminologi Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan rakyat, namun pengertian yang sederhana tersebut pada kelanjutannya akan berkembang sesuai dengan konfigurasi politik yang terus berkembang seperti halnya pada abad ke 19 yang melahirkan paham demokrasi konstitusional yang kemudian berkembang menjadi negara hukum dan Negara kesejahteraan (welfare state).
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Pada tataran negara demokratis modern, Henry B. Mayo mendefinisikan bahwa:
“sistem pemerintahan yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik”.
Prinsip demokrasi menurut Michael I. Urofsky sebagai titik acuan bagi suatu Negara demokrasi,
Setelah memahami beberapa konsep di atas, maka Indonesia hampir mencapai parameter yang di berikan oleh Michael I. Urofsky sebagai titik acuan bagi suatu Negara demokrasi, yaitu:
1. Penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Berlakunya Supremasi hukum
3. Prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi
4. Pemilihan umum yang demokratis
5. Federalisme, pemerintahan negara bagian dan lokal (distribusi kekuasaan)
6. Pembuatan undang-undang
7. Peran media yang bebas
8. Peran kelompok-kelompok kepentingan
9. Hak masyarakat untuk tahu
10. Melindungi hak-hak minoritas
11. Perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap warga negara.
12. Terlindunginya hak-hak manusia oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan.
Birokrasi yang Demokratis
Pergerakkan menuju demokrasi tidak hanya berlangsung dalam nilai-nilai social kemasyarakatan secara fundamental tetapi sebagaimana yang telah saya singgung di atas bahwa kondisi ini pula berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan atau birokasi pemerintah. Hal ini tercermin pola penyelenggaraan pemerintahan yang berlangsung secara politis dan peranan birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan (eksekutor) tetapi juga sebagai perumus kebijakan public (policy maker). Pergeseran peran ini mengharuskan lembaga-lemabaga birokrasi agar selalu responsive terhadap kebutuhan warga Negara.
Beberapa konsep yang mendukung adanya birokrasi yang demokrasi juga terlihat pada koreksi David Osborne dan Ted Gaebler terhadap paradigma birokrasi Weber yang hirarkis, disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Hal itu disarankan oleh Osborne dan Gaebler supaya menjadi birokrasi yang memiliki paradigm baru yang antara lain adalah sebagai berikut:
1. Catalytic Government
Steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri.
Dari sisi ini, birokrasi telah mempraktekan nilai kebebasan atau demokrasi. Dimana pemerintah memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengatur bidang-bidang kehidupan yang berguna bagi kelangsungan hidup mereka dan hal ini tidak terjadi pada pemerintahan yang otoriter.
2. Community-Owned Government
Empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
Pada posisi ini birokrasi pemerintah menekankan kepada aspek kemandirian masyarakat dan birokrasi pemerintah merupakan kepunyaan masyarakat karena dipilih oleh masyarakat. Artinya aparat birokrat merupakan hasil dari suatu pemilihan secara bebas berdasarkan keinginan warga Negara yang notabenenya hal ini berlangsung secara politis melalui kegiatan-kegiatan politik.
3. Competitive Government
Injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.
Dari konsep di atas, terkandung bahwa pemerintah menjamin ketersediaan regulasi dan barang-barang public melalui tindakan-tindakan yang kompetitif dari birokrasi public. Itu artinya birokrasi telah menjunjung tinggi hak-hak masyarakat dalam hal ini pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat.
Prinsip-prinsip Negara Demokrasi Menurut Para Ahli
Di samping itu, isu lain yang hendak menjelaskan demokrasi birokrasi, juga terkandung dalam prinsip-prinsip demokrasi yang telah diinternalisasikan ke dalam prinsip penyelenggaraan birokrasi pemerintah antara lain seperti berikut ini.
1. Transparansi
Penyelenggaraan birokrasi pemerintah harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat luas.
Transparansi bertujuan memudahkan masyarakat untuk:
a) Memperoleh informasi secara lengkap dan terus menerus.
b) Menumbuhkembangkan kepedulian dan partisipasi masyarakat.
c) Meningkatkan rasa saling percaya diantara para birokrat dan masyarakat umum.
2. Partisipasipasi
Adanya keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan mulai dari tahapan sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemeliharaan dan pengembangan kegiatan. Salah satu wujud keterlibatan masyarakat adalah masyarakat mampu dan berhasil membuat perencanaan secara efektif melalui forum mekanisme perencanaan dari bawah (bottom-up planning).
3. Desentralisasi
Desentralisasi bermakna sebagai pemberian kewenangan kepada masyarakat agar sejauh mana masyarakat memperolah hak otonomi untuk secara mandiri dan partisipatif dalam pembangunan.
4. Akuntabilitas
Dimaksudkan bahwa semua program dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan secara administrative dan teknis serta moral.
Bertolak dari gagasan tersebut, dapat diyakini bahwa birokrasi publik dapat berperan positif dalam mengawal proses demokratisasi sampai pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya birokrasi publik berurusan dengan persoalan bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melakukan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga Negara. Birokrasi publik yang berkembang saat ini sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis, tetapi lebih mirip sebuah jaringan kerja yang rasional dan modern. Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan kebutuhan publik, dan terhadap perluasan kebebasan-kebebasan berpolitik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Karena itu birokrasi public dapat menjadi dasar penyelenggaraan demokrasi dalam Negara yang demokrasi.