Belajar Dari Kisah Yohan Dan Wasiatnya
Mari Belajar Dari Wasiat Yohan
Elkana Goro Leba, S. Sos., MPA
“Mati tidak harus menuggu tua”. Begitulah
ungkapan untuk Yohan Sinaga, bocah yatim usia 14 tahun telah pergi menyusul
sang bunda di keabadian. Kepergian Yohan meninggalkan pesan bagi kita, bahwa
kematian kapan saja bisa datang, caranya pun berbeda-beda. Dan Yohan memilih
seutas tali untuk akhiri hidupnya. Sebab itu, jangan tunggu kaya untuk memberi,
karena mati tidak harus tua. Hidup ini ibarat sebuah petualangan. Semua karya
dan pelayanan, hanyalah pos-pos persinggahan yang mengisi nikmatnya petualangan
kita, sekaligus menentukan dimana tempat kita kelak di keabadian.
Ada
yang ingin berpetualang lebih lama di bumi ini, mereka berjuang untuk melawan
serangan virus-virus penjemput nyawa dengan bantuan para medis agar tetap
bertahan hidup. Namun, Yohan Sinaga tidak. Dia memilih jalan pintas untuk
mengakhiri petualangannya di bumi. Mungkin baginya, petualangan ini sangat
tidak menyenangkan. Karena yang ada hanyalah tekanan, kesepian, kepedihan, sakit
hati, dendam, amarah, dihakimi, direndahkan dan ejekan. Kisah itu terendus dari
isi surat wasiat yang ditinggalkan Yohan selepas kepergiannya.
Berawal
dari kehancuran keluarganya tujuh tahun silam. Sang ayah dipenjara karena
membunuh ibunya sendiri. Kisah itu miris, sedih juga menakutkan, apa lagi bagi
Yohan yang mungkin usianya masih tujuh tahunan pada saat itu. Karena itu, Ia
dan adiknya harus hidup dalam asuhan sang paman dan bibi, hingga dia duduk di
bangku SMP sampai akhir hidupnya.
Yohan dan
Wasiatnya
Yohan sudah tiada, tetapi surat
wasiatnya masih menjadi buah bibir dan topik menarik berbagai media. Membaca wasiat
itu, banyak yang merasa iba dan haru. Surat itu kurang lebih mengungkap apa
yang menyebabkan Yohan nekat akhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Dikisahkan,
selama tujuh tahun selepas kepergian ibunya, Yohan hidup dalam sakit hati dan trauma
berat. Trauma disebabkan oleh karena ibunya merengang nyawa di tangan sang ayah
yang seharusnya melidungi mereka, bukan malah membunuh. Trauma itu kemudian
menumbuhkan benih-benih kebencian yang mendalam dalam hati Yohan terhadap sang
ayah yang kini dipenjara. Rasa benci ini melebihi rasa hormatnya kepada sang ayah,
sehingga keinginan untuk balas dendam terus membara dalam hati dan pikirannya. Yohan
ingin membunuh ayahnya sendiri sebab terlalu sakit hati. Karena tidak sempat
balas dendam, bahkan Yohan menitipkan rasa dendam itu kapada adiknya untuk membunuh
sang ayah. Selain itu, dari isi surat wasiat itu, selama hidupnya, Yohan sering
mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan. Tercermin dari kata-kata dalam
surat itu, kalau ia sering “diolok-olok, disalahkan, dan direndahkan karena
keturunan (mungkin karena kisah kelam ayahnya)”. Itulah yang menyebabkan ia nekat
gantung diri dalam rumah dimana dia dan keluarga kecilnya tinggal sebelum
ibunya pergi menghadap sang khalik. Hingga jenazahnya yang sudah membusuk ditemukan
oleh tetangganya. Kita yang membaca surat itu saja memilukan, apa lagi kalau
kita membayangkan bagaimana perasaan yang berkecamuk dalam hati dan pikiran Yohan
ketika menuliskan surat wasiat itu dalam detik-detik terakhir hidupnya.
Pelajaran
Berharga untuk Kita, Terutama Orangtua dan Para Guru
Sepergi ibunya, kehidupan Yohan cenderung dirundungi oleh rasa
dendam dan sakit hati terhadap sang ayah karena telah membunuh sang ibunda.
Namun, ia simpan itu menjadi rahasia selama tujuh tahun. Karena tidak ada
tempat untuk berbagi. Mungkin dia tidak bisa ungkapkan itu kepada orang-orang
terdekat. Sehingga rasa benci dan dendam itu semakin hari-semakin menguasai
hidupnya.
Belajar dari kasus ini, dan untuk para orangtua, hindari pertengkaran,
dan perkataan kasar terhadap pasangan di depan anak-anak, apalagi sampai kontak
fisik yang menimbulkan luka dan bahkan hilangnya nyawa. Karena pengalaman- pengalaman
seperti itu akan membuat anak trauma, sakit hati, dendam dan membekas dalam
hati dan pikiran mereka. Pengalaman pahit itu menguasai diri mereka, kemudian tumbuh
menjadi anak-anak yang tidak sesuai dengan keinginan kita sebagai orangtua.
Pada
umumnya, anak-anak seperti Yohan, cenderung tumbuh menjadi anak-anak yang
kurang mendapat perhatian dan haus akan kasih sayang orangtua. Mereka tidak
jarang menjadi trouble maker guna mendapat perhatian dan mencari jati
diri. Atau bahkan sebaliknya, mereka menjadi anak-anak yang kurang percaya
diri, murung, tertutup, pendiam, dan tidak memiliki semangat untuk hidup.
Masih menurut surat wasiat itu, sepertinya Yohan sering mendapat
perlakuan tidak baik, karena ia sering disalahkan dan diolok-olok karena kelakuan
sang ayah yang jahat. Itulah yang menyebabkan api dendam, amarah dan kebencian
terhadap sang ayah kian hari kian membara. Sampai ia bunuh diri karena mungkin
merasa rendah dan tidak berguna. Mungkin bagi orang-orang normal hal itu
bercanda dan biasa saja. Tetapi bagi anak-anak seperti Yohan yang mengalami
trauma mental, kata-kata dan perlakuan itu membuatnya sakit hati dan rendah
diri, sebab itu berkaitan dengan kelemahannya. Karena bercanda terhadap
kelemahan orang lain, akan menimbulkan sakit hati bagi yang bersangkutan,
tetapi itu mungkin biasa saja bagi kita yang normal dan tidak berada dalam
keadaan itu.
Oleh karena itu, mari kita belajar dari kisah Yohan ini. Ada
banyak anak-anak yang memiliki kondisi mental seperti Yohan. Kurang kasih
sayang dari orangtua, sehingga tumbuh kembang menjadi anak-anak yang tertutup
dan bahkan nakal dan kurang dengar-dengaran. Mari kita pedulikan mereka. Jangan
bercanda dengan kelemahan orang, karena itu membuatnya sakit hati. Semoga tidak
ada lagi Yohan Yohan selanjutnya yang menjadi korban.